Banyaknya bangunan yang rusak akibat gempa, bukan berarti daerah tersebut adalah jalur dari sesar, kata Adrin saat memantau Desa Nagrak, Kabupaten Cianjur.
Banyak pihak menduga bahwa salah satu parameter ada patahan dapat dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan. Skala kerusakan bangunan tidak bisa dijadikan sebagai patokan utama bahwa wilayah tersebut dilintasi atau ada di area sekitar patahan.
Ia mencontohkan gempa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2006. Saat itu, banyak rumah yang hancur akibat guncangan kendati posisinya berada jauh dari jalur lintasan sesar. Lemahnya struktur bangunan menjadi penyebab utama hancurnya rumah.
"Kecuali di daerah yang hancur itu terlihat ada rekahan di pergerakan sesar itu, baru kita bisa simpulkan, tapi kalau tidak ada sama sekali rekahan, itu hanya masalah struktur bangunannya saja," kata dia.
Demikian juga dengan gempa di Cianjur. Banyaknya rumah yang roboh disebabkan struktur bangunan yang tidak kuat menahan goncangan. Faktor lainnya adalah suatu wilayah berada di atas endapan lunak yang membuat guncangan terasa lebih kuat.
Ia pun mendorong seluruh pemangku kebijakan serius dalam menghadapi ancaman gempa ke depan. Edukasi dan sosialisasi menjadi hal penting untuk disampaikan kepada masyarakat, sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Selain merelokasi masyarakat ke wilayah yang dianggap aman, perlu juga memberikan pemahaman mengenai rumah tahan gempa karena yang menjadi faktor utama kematian adalah bangunan roboh bukan guncangan.
Di sisi lain, hasil penelitian yang dilakukan saat ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam memetakan wilayah risiko bencana gempa bumi serta langkah mitigasi yang tepat sasaran.
Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan, upaya memahami dan mengurangi risiko bencana masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.