Berpindahnya penggilingan gula membuat para petani yang berada di enam kecamatan seperti Kecamatan Mundu, Lemahabang, Greged, Karangsuwung, Pangenan, dan Japura harus mengeluarkan ongkos angkut lebih banyak lagi.
Selain itu PG Tersana Baru juga tidak memiliki lori sehingga biaya angkutan tebu mengalami pembengkakan, sebab sopir harus antre terlebih dahulu, dan bahkan sampai menginap ketika banyak bongkaran.
Tiga tahun setelah giling tebu di PG Tersana Baru selalu mengalami kerugian, terutama ongkos angkutan, karena tidak ada lori maka petani juga harus memberikan uang lebih ke sopir.
Bukan hanya Mae Azhar. Petani lainnya pun merasakan dampak setelah PG Sindanglaut ditutup, seperti dialami oleh Didi Junaidi. Ia bahkan tidak menanam tebu untuk masa giling tahun 2023, karena selama 3 tahun sudah mengalami kerugian cukup besar.
Biaya angkut dan tebang menjadi permasalahan karena naik dua kali lipat bila dibandingkan ketika digiling di PG Sindanglaut. Untuk per kuintal tebu jika digiling di PG Sindanglaut biayanya hanya Rp2.500, namun ketika digiling di PG Tersana Baru petani harus mengeluarkan Rp5.000 per kuintal.
Ongkos angkut dan tebang bukan menjadi salah satu keluhan petani, melainkan harga gula pada waktu itu juga tidak stabil sehingga secara bisnis menanam tebu sangat tidak menguntungkan.
“Makanya saya pada tahun kemarin tidak menanam tebu sehingga pada musim giling tahun 2023 dipastikan libur karena selalu rugi. Jadi secara bisnis suda tidak baik, apalagi bagi kami yang hanya menanam tebu 3-4 hektare,” kata Didi.
Kembali beroperasi
Musim giling tahun 2023 menjadi angin segar bagi para petani tebu di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya, pasalnya PG Sindanglaut yang sempat ditutup dipastikan kembali dioperasikan.
Spektrum - Pengoperasian PG Sindanglaut tebarkan aroma manis petani tebu Cirebon
Rabu, 31 Mei 2023 13:07 WIB