Jakarta (ANTARA) - Kementerian Agama menyebut komposisi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) dan nilai manfaat harus proporsional, jika tidak, nilai manfaat yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan cepat tergerus.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," ujar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Hilman Latief di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, Kementerian Agama mengusulkan rerata Bipih 1444 H/2023 Masehi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98 juta.
Artinya, Kemenag mengusulkan skema 70:30 persen untuk biaya haji tahun ini. 70 persen berarti biaya yang harus dibayarkan calon anggota jamaah haji, sementara 30 persen adalah biaya yang dibayarkan oleh BPKH yang bersumber dari nilai manfaat pengelolaan keuangan haji.
Sementara pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 H/2022 Masehi, nilai manfaat yang harus dibebankan kepada BPKH sebesar 59 persen atau sekitar Rp57,91 juta dan Bipih Rp39,89 juta atau 41 persen dari total BPIH sebesar Rp97,79 juta.
Menurut Hilman, usulan Bipih tahun ini memang lebih besar porsinya. Sebab, apabila skema tahun 2022 dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat akan cepat habis pada 2027. Artinya, calon jamaah haji yang akan berangkat pada tahun-tahun berikutnya kemungkinan besar harus membayar 100 persen.
"Padahal, mereka juga berhak atas nilai manfaat simpanan setoran awalnya yang sudah lebih 10 tahun," kata dia.
Maka dari itu, kata Hilman, Pemerintah mengusulkan kepada Komisi VIII DPR agar skema pembiayaan menjadi 70 persen dari Bipih dan 30 persen dari nilai manfaat, demi menjaga keberlangsungan keuangan haji.
Komposisi Bipih dan nilai manfaat harus proporsional, sebut Kemenag
Selasa, 24 Januari 2023 15:15 WIB