Sosok Inggit, kata penulis naskah Ratna Ayu Budhiarti, tetap tegak bahkan setelah dihantam ombak. Itu pula yang ditampilkan dalam adegan penutup pertunjukan–ketika tirai panggung mulai turun perlahan, Inggit tetap berdiri dengan tegak walau kesedihan melanda kala melepas Soekarno.
Happy memandang sosok Inggit sebagai spirit tentang kejujuran dan cerminan kedalaman perasaan seorang perempuan. Kisah Soekarno-Inggit, kata Happy, merupakan fase yang tidak pernah dibicarakan dalam narasi sejarah besar, kisah yang ada di wilayah domestik para pendiri bangsa ini.
Sementara sutradara pertunjukan Wawan Sofwan memandang sosok Inggit sebagai ‘mentor kehidupan’ Soekarno selama 20 pernikahan. Sebuah proses menuju pendewasaan Soekarno, yang kata Poeradisastra, harus memulai hidup barunya tanpa Inggit saat berusia 40 tahunan.
“Soekarno merasa bahwa Inggit adalah semacam api untuk semangat hidup dia. Bagi saya itu sangat luar biasa, seorang perempuan domestik yang mengurus di belakang tapi mampu mendidik pendiri bangsa kita,” kata Wawan dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, naskah monolog “Inggit Garnasih” pernah ditulis oleh Ahda Imran. Namun untuk pementasan kali ini, naskah ditulis oleh penulis perempuan dengan harapan dapat lebih menonjolkan pergulatan batin seorang Inggit Garnasih.
Kembalinya gairah pentas teater
Ini bukan pertama kalinya monolog “Inggit Garnasih” diangkat ke panggung pentas. Titimangsa Foundation, yang dibesut oleh Happy Salma, sempat mementaskan monolog ini sekitar 13 kali pada periode 2011 hingga 2014 di Jakarta dan Bandung.