Happy mahir menempatkan diri sebagai sosok Inggit, bertutur dengan fasih walau cerita berjalan dengan alur bolak-balik. Penonton tenggelam tak hanya pada jalannya kisah, lebih dari itu, berbagai emosi yang tumpah di atas panggung–mulai dari sedih, bahagia, amarah, hingga sesekali jenaka–turut memberi warna dalam benak penonton.
“Ibu”, kekasih, sekaligus kawan Soekarno
Soekarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923. Kala itu, Soekarno masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) yang menumpang di rumah Haji Sanoesi–seorang pedagang dan aktivis Sarekat Islam yang kelak berstatus sebagai mantan suami Inggit.
Ketika keduanya bertemu dan saling jatuh cinta, Inggit masih bersuamikan Sanoesi sementara Soekarno masih beristrikan Siti Oetari–anak dari HOS Tjokroaminoto. Usia keduanya pun terpaut cukup jauh, Inggit hampir lima belas tahun lebih tua dari Soekarno.
Dalam roman yang ditulis Ramadhan K.H., diceritakan Sanoesi mencoba berlapang dada merelakan Inggit untuk menikah dengan Soekarno, dibarengi dengan syarat surat perjanjian yang meminta kepada Soekarno agar tak melukai hati Inggit di kemudian hari. Sementara Soekarno pada akhirnya memutuskan untuk bercerai dari Oetari dengan alasan hubungan mereka selama ini hanya seperti kakak-beradik.
“Akang telah katakan kepada Kusno, cintailah Enggit dengan sungguh-sungguh dan jangan terlantarkan dia. Saya tidak senang, tidak rela kalau mesti melihat Enggit hidup sengsara, baik lahir, maupun batin. Saya tidak rela kalau sampai mendengar kejadian menimpanya seperti itu,” kata Sanoesi kepada Inggit dalam “Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan K.H..
S.I. Poeradisastra melalui kata pengantarnya dalam roman Ramadhan K.H. itu memandang sosok Inggit sebagai perempuan tangguh yang bukan sekadar berperan sebagai pendamping Soekarno.
Spektrum - Inggit Garnasih di atas panggung pentas, tegak setelah dihantam ombak
Oleh Rizka Khaerunnisa Minggu, 22 Mei 2022 9:25 WIB