Bandung (ANTARA) - Ketua Tim Inovasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Keri Lestari mendorong dunia usaha menggunakan pengawet ikan yang aman, terutama pengawet alami untuk digunakan para nelayan dan pedagang hasil laut dan juga pemerintah didorong untuk menyediakan pengamat alami untuk ikan.
"Jadi kalau yang namanya formalin itu kan zat kimia yang harusnya memang tidak digunakan, tapi kenyataanya di lapangan ada. Padahal formalin atau boraks bisa memicu penyakit kanker. Seharusnya, ikan dan hasil laut menjadi makanan yang sehat dan bergizi,” kata Prof Keri seusai diskusi bertajuk "Solusi Meningkatkan Ekonomi Nelayan di Tengah Pandemi Melalui Produk Inovatif", di Bandung, Jumat.
Penggunaan formalin dan boraks sebagai pengawet ikan dan hasil laut hingga saat ini masih ditemui di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jawa Barat dan sejumlah nelayan dan pedagang tampaknya tidak memiliki pilihan lain kecuali memakai dua zat berbahaya tersebut untuk mengawetkan hasil laut.
"Dan yang namanya formalin itu kan zat kimia yang harusnya memang tidak digunakan, tapi kenyataanya di lapangan ada. Rata-rata mereka menggunakan pengawet formalin atau ada yang mereka sebut dengan pijer," kata dia.
Ia menuturkan salah satunya pengawet berbahaya ini masalahnya, bisa jadi dari makanan yang dikonsumsi jadi mengaktifkan sel kanker tersebut.
"Jadi ada senyawa karsinogenik, dalam jangka waktu yang tiba-tiba banyak, atau sedikit-sedikit tapi dalam jangka panjang, akan mengaktifkan sel kanker," katanya.
Selama ini, kata dia, BPOM telah merekomendasikan sejumlah pengawet yang relatif aman dan diizinkan untuk menjadi pengawet ikan namun kebanyakan sulit didapat oleh nelayan atau pedagang.
"Makanya kami berharap ini juga ada pendampingan Kementerian Kelautan dan Perikanan, bagaimana produk pengawet alami inovasi yang bagus untuk kesehatan ini, dapat mudah dijangkau. Maka kerja samanya harus ada akademisi, pemerintah, dan unsur bisnis, sehingga bisa mendekatkan produk ini ke supply chain. Ini diharap jadi kerja sama baik dan warga dapat manfaat," katanya.
Keri mengapresiasi inovasi yang diciptakan Zhafira Samudra Nusantara dan Sinergi Organik Globalindo yang meluncurkan Pengawet Ikan Organik (PIO).
Bukan dari zat kimia apalagi zat berbahaya, pengawet ikan alami ini terbuat dari selada air, kesemek, bayam, dan garam, yang difermentasikan.
Inovasi pengawet dari bahan yang aman menjadi hal yang krusial dalam menjaga perekonomian nelayan di tengah pandemi COVID-19.
Jangan sampai para nelayan hanya berpatok pada formalin atau zat kimia berbahaya dalam mengawetkan ikan dan hasil laut.
Seperti Pengawet Ikan Organik (PIO) menjadi salah satu hasil inovasi yang dikembangkan PT Sinargi Organik Globalindo dan sesuai dengan namanya, semua bahan baku PIO tidak menggunakan zat kimia berbahaya.
Direktur Pemasaran PT Sinargi Organik Globalindo Restu Kusumah mengatakan produk ini diklaim menjadi solusi permasalahan utama dalam ranah produksi ikan laut segar.
Pihaknya telah memasarkannya ke berbagai daerah di Indonesia dan menjamin ketersediaan produknya untuk tetap terjangkau.
"Harga satu liter PIO dibanderol Rp 150 ribu untuk mengawetkan ikan sebanyak 250 kilogram. Ini bisa menjadi pengganti formalin yang tidak baik untuk kesehatan," ujat dia.
Kualitas ikan yang terjaga secara langsung meningkatkan produksi nelayan serta tingkat konsumsi ikan dan hasil tangkapan laut bagi masyarakat.
Selain itu, ia menyebut membuka peluang bagi distributor untuk memaksimalkan potensi pasar di 34 provinsi di Indonesia dengan nilai hingga Rp56 miliar per tahun dari industri kelautan.
"PIO ini tidak memiliki kadaluarsa, namun sesuai anjuran pemerintah, kadaluarsanya dibatasi hingga dua tahun," kata dia.
Baca juga: Nelayan Garut kesulitan jual ikan ke pasar tradisional
Baca juga: Nelayan dari berbagai wilayah di Jabar berburu ikan di Cianjur
Baca juga: Nelayan Cianjur keluhkan harga ikan merosot tajam