Bandung, 16/4 (ANTARA) - Profesor Riset Astronomi Astrofisika LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan, fenomena hujan meteor Lyrids yang terjadi pada 16-26 April bisa dilihat tanpa menggunakan alat bantu apapun.
"Bila menggunakan alat bantu, khususnya teropong, bidang pandang menjadi sempit. Ini justru bisa menyebabkan hujan meteor tidak terlihat. Sedangkan dengan mata telanjang, bidang pandang ke langit menjadi luas," kata Thomas Djamaluddin, di Bandung, Jumat.
Menurut Thomas fenomena ini hanya terlihat di bumi bagian ekuator dan Utara, karena meteor Lyrids bergerak dari Timur laut dan Utara ke arah Barat.
Semua orang di belahan bumi tersebut, kata dia, bisa melihat fenomena ini pada tengah malam hingga dini hari dan puncaknya pada 21-22 April.
"Supaya fenomena ini terlihat jelas, cuaca di daerah tempat pengamatan harus cerah. Lokasi pengamatan harus bebas polusi cahaya. Selain itu bagian Timur dan Utara tempat pengamatan tidak terhalang apapun," katanya.
Dia menjelaskan, fenomena itu terjadi karena bumi berevolusi melewati sisa debu lintasan komet Thatcher. Kemudian debu tersebut menembus atmosfer dan terbakar.
"Debu-debu itulah yang terlihat sebagai hujan meteor. Bahkan terlihat seperti bintang jatuh," kata Thomas.
Fenomena itu terjadi sejak 2600 tahun lalu. Pada 1800-an peneliti baru menyimpulkan penyebab terjadinya fenomena hujan meteor Lyrids.
"Titik pancar hujan meteor Lyrids berasal dari rasi bintang Lyra. Intensitasnya tergolong sedang, karena hanya terlihat belasan meteor per jam," kata Thomas.