Jakarta (ANTARA) - Analis Reku Fahmi Almuttaqin menilai, lonjakan harga Bitcoin yang kembali mencetak rekor tertinggi di tengah memanasnya situasi politik di Amerika Serikat (AS) dipicu oleh besarnya aliran dana masuk ke ETF Bitcoin spot.
Bitcoin sempat menembus level 125.000 dolar AS pada perdagangan Minggu kemarin (5/10), mencetak rekor tertinggi baru (all-time high/ATH) dalam siklus bullish saat ini. Saat ini, harga kripto berkapitalisasi terbesar itu masih bergerak di atas 123.000 dolar AS atau naik lebih dari 10 persen dalam sepekan terakhir.
“Dalam periode perdagangan 1-3 Oktober, tercatat aliran dana masuk ke instrumen ETF Bitcoin spot mencapai lebih dari 2,28 miliar dolar AS, mengacu data Coinglass. Artinya secara rata-rata, terdapat total lebih dari 762 juta dolar AS net buy Bitcoin dari para investor tradisional AS setiap harinya dalam tiga hari perdagangan terakhir,” ujar Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Menariknya, reli Bitcoin terjadi di tengah kebuntuan politik di Washington yang menyebabkan pemerintahan federal AS mengalami shutdown sejak 1 Oktober 2025.
“Dengan lembaga pemerintah dan rilis data ekonomi tertunda, sebagian investor memandang keadaan ini sebagai pemicu impuls likuiditas positif, yang dapat menjadi landasan bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneternya di sisa tahun ini,” lanjut Fahmi.
Selain Bitcoin, pasar saham AS juga mencatat kinerja positif, dengan indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing naik 1,1 persen dan 1,3 persen dalam sepekan terakhir.
“Pasar tampak menilai bahwa shutdown tidak akan berlangsung lama atau menimbulkan risiko ekonomi sistemik. Sentimen ‘no data, no problem’ mencerminkan optimisme investor bahwa ketiadaan rilis data makro dapat memperkuat peluang The Fed melanjutkan pelonggaran suku bunga,” kata dia.
Namun, Fahmi mengingatkan, kekuatan pasar di tengah penundaan rilis data ekonomi resmi bisa menciptakan risiko mispricing, yang mana pasar menjadi terlalu optimistis tanpa dasar data aktual.
“Bila laporan lapangan kerja yang tertunda nanti menunjukkan pelemahan tajam, atau inflasi meningkat signifikan, aksi profit taking bisa meningkat, khususnya pada saham-saham teknologi yang telah mencatat reli panjang,” imbuhnya.
