Bandung (ANTARA) - Menteri Transmigrasi (Mentrans) Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam orasi ilmiah pada sidang terbuka dari penelitiannya untuk gelar doktor di Universitas Padjajaran Bandung, menyinggung bahwa media sosial tidak bisa berdiri sendiri dalam komunikasi politik.
Dalam penelitian berjudul "Eklektisisme Perilaku Memilih dalam Pilpres 2024: Analisis Multidimensi atas Pengaruh Karakteristik Sosial, Rasionalitas Politik dan Dinamika Utilitas Maksimal dalam Pembentukan Preferensi Elektoral di Indonesia", Iftitah mengatakan bahwa meski media sosial jadi kanal dominan dalam keseharian, namun bukan faktor utama dalam komunikasi politik, khususnya yang menentukan preferensi politik untuk tingkat elektabilitas.
"Dalam komunikasi politik, meskipun media sosial menjadi kanal dominan dalam kehidupan sehari-hari pemilih, pengaruhnya terhadap preferensi politik tidak sekuat yang diperkirakan," kata Iftitah di Kampus Unpad Dago Bandung, Jumat.
Hal ini, kata Iftitah, bisa disebabkan oleh kelebihan informasi, bias algoritma dan rendahnya kepercayaan terhadap isi konten dari media sosial. "Akibatnya membuat pemilih kembali mengandalkan jaringan sosial dan media konvensional untuk validasi," ujarnya.
Sebaliknya, lanjut dia, dalam konteks komunikasi politik, peran media masih ambivalen, karena televisi, radio, media seluler, sampai media tradisional, masih menjadi sumber utama informasi bagi pemilih, terutama di wilayah pedesaan.
"Media ini efektif menjangkau segmen pemilih yang lebih konservatif dan kurang tersambung secara digital," ucapnya dalam acara yang juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu.
Ditemui selepas orasi ilmiah, Iftitah menegaskan pengaruh sosial media, khususnya terhadap elektabilitas, dari penelitiannya, ternyata bukan faktor satu-satunya dan bukan pula faktor yang dominan terhadap preferensi politik.
"Sosial media tentu penting, tapi tidak bisa berdiri sendiri," katanya.
Meski demikian, dia menilai sosial media tidak bisa dinafikan menjadi salah satu akselerator yang mendorong preferensi politik masyarakat, terutama pada generasi Z dan generasi alfa ke depannya.
"Program harus dikemas dalam konten-konten menarik agar bisa mengena di hati pemilih," katanya.