Maka, mau tidak mau harus ada jamaah yang bergeser dari tenda reguler ke tenda haji khusus, agar kepadatan tidak semakin menggila.
Mengingat luas Mina yang terbatas itu, Kemenag tidak bisa membayangkan kepadatan yang terjadi apabila 20 ribu kuota tambahan berjubel di tenda yang sempit. Dengan kuota reguler normal saja, tenda-tenda yang ditempati jamaah Indonesia sudah penuh sesak.
Alasan keselamatan jiwa menjadi faktor utama Kemenag dan Kemenhaj Arab Saudi menyetujui pembagian alokasi kuota tambahan dibagi secara merata. Mereka tak ingin karena gara-gara egoisme malah menjadi petaka.
Banyak yang mendorong agar pemondokan Mina dibuat bertingkat, seperti halnya tempat lempar jumrah. Namun, yang patut digarisbawahi bahwa pembangunan di Mina sepenuhnya kewenangan Pemerintah Arab Saudi.
Pemerintah Indonesia tidak bisa mendesak Arab Saudi untuk menambah luas Mina. Oleh karena itu, tidak tepat jika kritik itu disampaikan kepada Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama.
Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj yang juga ahli hukum UIN Jakarta menyebutkan bahwa apa yang dilakukan Kementerian Agama tidaklah salah.
Mengutip Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 terutama Pasal 9, ia menyebutkan pembagian kuota haji tambahan diatur atau ditetapkan oleh Menteri Agama sehingga ketika kuota tambahan sebesar 20 ribu dibagi rata, 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu haji khusus, itu tidak menyalahi regulasi.
Muatan politis
Evaluasi penyelenggaraan ibadah haji memang wajib dilakukan. Perbaikan layanan wajib menjadi prioritas agar penyelenggaraan berikutnya bisa lebih baik.
Pebih dari itu, Pansus Hak Angket Haji jangan sampai dijadikan sebagai komoditas politik seperti yang dikhawatirkan para petinggi ormas-ormas keagamaan.
Pansus Pansus Hak Angket Haji, antara evaluasi dan aroma politisasi
Senin, 5 Agustus 2024 19:25 WIB