Panitia Khusus (Pansus) Angket Penyelenggaraan Haji 2024 DPR RI merekomendasikan agar DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU Haji).
"Dibutuhkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji," kata Ketua Pansus Angket Haji DPR RI Nusron Wahid dalam Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024—2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Hal tersebut merupakan salah satu rekomendasi dari Pansus Angket Haji DPR setelah melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya ketidakpatuhan dalam pelaksanaan UU Haji.
Dalam penyelidikan yang dilakukan dengan meminta keterangan sejumlah saksi dan inspeksi lapangan itu, Pansus Angket Haji merumuskan rekomendasi revisi UU Haji agar penyelenggaraan haji ke depannya untuk jamaah dari Indonesia mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan haji di Arab Saudi.
Dalam penyelidikan, Pansus Angket Haji menemukan penyelenggaraan ibadah haji saat ini masih belum sesuai dengan kondisi terkini di Arab Saudi, seperti Kementerian Agama (Kemenag) dalam menyelenggarakan ibadah haji masih berperan ganda sebagai regulator dan operator.
Sementara, kata Nusron, dalam pelaksanaan haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan dari pemerintah ke pemerintah, tetapi berubah menjadi pemerintah ke bisnis, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pihak syarikah atau perusahaan penyedia layanan haji menggunakan kerangka bisnis.
Lalu Pansus Angket Haji juga menemukan ketidakpatuhan dalam pelaksanaan Pasal 64 UU Haji. Pansus menilai Menteri Agama (Menag) menyalahi ketentuan alokasi kuota haji karena memutuskan kuota tambahan dialokasikan 10 ribu untuk jamaah haji reguler dan 10 ribu untuk jamaah haji khusus atau 50 persen banding 50 persen, padahal Pasal 64 UU 8/2019 menyatakan alokasi kuota 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk kuota haji khusus.