Bagi Ria, kesabaran adalah kunci untuk menghadapi sisi emosional anak. Hal itu juga berlaku terhadap anak dengan kebutuhan khusus.
Dari modal kesabaran itu, ia senang jika berhasil menuntun anak pada pencapaiannya masing-masing. Ia pernah mendidik anak agar bisa menulis dan berbicara kepada orang lain, meski perlu waktu empat tahun, dua tahun lebih lama dari biasanya anak TK untuk lulus.
Ia juga merasa senang ketika anak-anak yang sudah lulus TK B mahir menulis dan berhitung, sebelum masuk SD. Atau, bahkan, hanya sekadar membentuk segitiga sama kaki, dari yang sebelumnya hanya bisa menggambar garis dan titik-titik.
Mungkin bagi orang lain pencapaian tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja, namun bagi Ria dan dua guru lainnya di TK itu, adalah proses yang seharusnya bisa dinikmati, bahkan oleh orang tua.
Peran ganda guru TK
Rumah belajar tempat Ria mengabdi memang didirikan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap kaum dhuafa. Oleh karenanya, hanya anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah, baik normal maupun berkebutuhan khusus, yang diterima di sekolah tersebut.
Sebelum diterima di TK, para guru dan kepala sekolah melakukan survei ke rumah calon murid untuk mengetahui seberapa sulit kondisi finansial orang tua. Karena dibiayai oleh yayasan, orang tua hanya perlu membayar iuran Rp30 ribu sebulan untuk biaya operasional sekolah.
Walau sudah terbilang murah, banyak juga dari orang tua murid yang menunggak iuran. Warga di Jatiasih pada umumnya memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka bekerja serabutan, dari pengumpul barang rongsokan, ojek pangkalan, buruh cuci-gosok, hingga pembantu rumah tangga.
Para guru dan kepala sekolah akan menyeleksi 20-24 murid yang orang tuanya memiliki banyak beban pengeluaran, seperti jumlah anak dan berpenghasilan rendah.
Spektrum - Belajar menikmati sebuah proses dari guru TK
Oleh Mentari Dwi Gayati Minggu, 26 November 2023 9:00 WIB