Bandung (ANTARA) -
"Itu tidak tepat, tapi kita bisa merasakan, itu kan ekspresi kemarahan mereka karena produk-produk UMKM dalam negeri yang dijual, tidak bisa bersaing dengan masuknya barang dari luar jadi bukan soal offline dan online," kata Teten di Gedung Sabuga Bandung, Rabu.
Baca juga: Pelaku UMKM lega, social commerce dilarang transaksi dagang
Teten menjelaskan bahwa pedagang di pasar tradisional pun sudah lama berjualan daring di hampir semua channel e-commerce, bahkan sudah ada sekitar 22 juta UMKM yang turun langsung berjualan daring.
"Termasuk mereka melakukan live shopping, tapi bagaimanapun, live shopping tanpa menggunakan influence figure yang banyak followersnya kan enggak ada yang nonton, jadi di online pun kalah bersaing," ucapnya.
Karenanya, kata Teten, pemerintah melakukan tiga hal dalam mengatur masalah ini, pertama adalah mengatur platform digital dengan melakukan pemisahan antara e-commerce dan sosial commerce.
"Kita melihat di banyak negara, pengaturan sudah masuk kepada teknologinya. Jangan sampai ada monopoli ini akan dilanjutkan. Saya kira Pak Presiden sudah memerintahkan itu dalam rapat kabinet yang lalu pada beberapa kementerian," ucapnya.
Yang kedua, lanjut dia, pemerintah akan mengatur arus barang impor, terutama consumer goods, agar jangan sampai memukul produk dalam negeri.
Dan yang ketiga, pengaturan perdagangan secara daring, dengan tujuan mencegah adanya aksi bakar uang (burning money) yang dilakukan oleh platform untuk memperbesar valuasi bisnis mereka yang disebut Teten merupakan bisnis model yang tidak berkelanjutan (sustain).
"Karena nanti hanya akan ada platform yang dengan kekuatan kapital yang besar, raksasa, dan global yang akan menguasai platform di dunia ini. Enggak boleh juga bakar uang untuk naikin Market Share," ujarnya.
Pengaturan perdagangan secara daring juga akan menyasar barang-barang yang masuk dari luar negeri.