Jakarta (ANTARA) - Lantunan selawat Nabi tengah bergema di mana-mana, menandai perayaan hari kelahiran Nabi sebagai manifestasi kecintaan umat pada kekasih Allah SWT. Sejatinya, cinta Nabi bukan hanya tentang adu lantang suara selawatan, melainkan perlombaan adu bagus dalam meneladani akhlak dan menerapkan sunahnya. Menjalankan sunah, tidak pula untuk dipilih-pilih pada bagian yang dianggap mudah dan dirasa menguntungkan.
“Jatuh cinta tanpa pernah bertemu”, itulah keajaiban cinta yang umat miliki untuk sang Nabi.
Setiap tahun di Bulan Rabiul Awal, umat Islam di Tanah Air berbondong-bondong menyemarakkan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, bukan hanya dalam hitungan hari, di sejumlah daerah peringatan ultah Nabi, bahkan bisa berlangsung hingga tiga bulan. Panjangnya durasi perayaan ultah Nabi barangkali bisa disetarakan dengan betapa besarnya kecintaan umat pada rasul pamungkas itu.
Dan besarnya cinta itu, selayaknya dibarengi dengan pengamalan sunah dari sang idola. Jangan sampai, umat hanya hebat dalam mencinta, gemuruh dalam berselawat, tetapi pola laku dalam kehidupan tidak mencerminkan sebagai pengikut Muhammad Saw.
Karena reputasi agama (sesungguhnya) ada pada perilaku penganutnya, sehingga tak perlu reaktif terhadap gangguan dari pihak eksternal, semisal penghinaan atas simbol agama. Dipastikan, agama tidak akan menjadi hina hanya gara-gara dinista oleh para penentangnya.
Jika tidak hati-hati, justru wibawa agama sering diruntuhkan oleh penganutnya sendiri. Mudah tersinggung berlebihan dengan perilaku yang dinilai melecehkan agama adalah perilaku yang tidak disadari justru kita yang mencoreng agama, dengan menunjukkan tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi.
Islam melarang umatnya untuk merusak tempat ibadah umat agama lain.
Cinta, adalah tentang cara menyenangkan orang yang kita cintai. Kaum Muslim yang mengaku memiliki kecintaan agung terhadap sang Nabi hingga merayakan Maulid selama berbulan-bulan, menggaungkan selawat untuknya setiap saat, sudahkah menyenangkan beliau?