Cirebon (ANTARA) - Kota Cirebon bisa dibilang menjadi salah satu kota yang terbangun dari keberhasilan akulturasi berbagai budaya. Kota yang kerap kali hanya dijadikan jalur lalu lalang para pemudik ini, punya satu kisah menarik yang mungkin jarang didengar oleh anak-anak pada masa kini.
Ini kisah si Masjid Merah. Masjid yang terletak di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, yang didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurakhman atau Pangeran Panjunan, seorang tokoh penyiar agama islam dan pedagang tanah liat yang andal.
Singkat cerita, daerah itu dahulu merupakan tempat tinggal masyarakat bangsa Arab yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai pedagang. Dikarenakan lalu lalangnya yang padat, masyarakat membutuhkan sebuah tempat untuk beribadah bersama.
Hal ini mendorong hati Pangeran Panjunan kemudian mendirikan masjid yang seluruh tubuhnya dibangun dari bata merah, setelah mendapatkan izin dari Sunan Gunung Jati. Menurut Pengurus Masjid Merah, Muhammad Irfan, warna merah dipilih Sang Pangeran sebagai lambang keberanian umat islam untuk selalu mengatakan kejujuran.
Pemandangannya amat indah karena langsung bisa melihat laut yang dekat pelabuhan, ditemani dengan hempasan angin sepoi-sepoi.
Namun setelah pemukiman bercampur dengan penduduk lokal, pemandangan yang akan menyambut kita adalah perumahan penduduk setempat bergaya mur ala ketimuran yang dikelilingi oleh toko-toko yang berjualan barang elektronik.
Tepat di gang sebelah kanan pengunjung juga bisa memanjakan lidah bersama Mi Koclok Panjunan dengan kuah putihnya yang kental nan gurih.
Arsitektur yang otentik
Sebagai masjid tertua kedua di Cirebon setelah Tajug Pejlagrahan, arsitektur dari Masjid Merah mempunyai ciri khas perpaduan agama Islam, Hindu dan Buddha. Sementara perpaduan budaya lain yang dapat ditemukan berasal dari Jawa, Arab, dan China.