Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu menegaskan pelarangan aktivitas thrifting atau jual beli barang bekas impor, terutama pakaian. Penegasan presiden ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Perdagangan dan Kepolisian dengan melakukan tindakan penyitaan dan pemusnahan barang dari para pedagang.
Sejumlah kementerian lain pun melakukan tindak lanjut untuk mengimplementasikan kebijakan pelarangan tersebut.
Narasi yang dibangun pemerintah adalah karena aktivitas thrifting barang impor, terutama pakaian tersebut, dapat merugikan industri tekstil dalam negeri, berpotensi merugikan potensi pendapatan negara, dan lain sebagainya.
Aktivitas thrifting di marketplace dan pasar tradisional memang terlihat semakin menjadi tren akhir-akhir ini. Namun, belum ada data statistik resmi yang mencatat karena perolehan barangnya paling banyak berasal dari barang yang diimpor secara ilegal dan tidak masuk jalur kepabeanan.
Jadi data statistik resmi dari kepabeanan maupun Badan Pusat Statistik (BPS) tentu hanya menghitung barang dalam kategori pengecualian, seperti pakaian dan barang-barang bekas yang memang diperbolehkan, seperti misalnya untuk tujuan perpindahan seseorang dari dalam atau luar negeri.
Sehingga data ini tentu tak dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk menilai masalah tren aktivitas bisnis thrifting yang sudah marak.
Aktivitas impor barang bekas yang dilarang menurut Permendag Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 memang hanya pakaian bekas.
Namun, sebagaimana diatur dalam Permendag terbaru Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Impor menyangkut pakaian dan barang bekas lainnya, yang berarti meliputi seluruh barang bekas.
Telaah - Di balik pelarangan thrifting pakaian bekas impor
Oleh Suroto*) Jumat, 24 Maret 2023 11:00 WIB