“Yang kita khawatirkan manusia jadi malas belajar. Menggantungkan kepada AI itu karena segala macam dimudahkan oleh AI,” kata Fahmi.
Lantas doktor Sains Informatika lulusan Universitas Groningen Belanda ini menyarankan SDM di Indonesia terus mengatasi ketertinggalan, beradaptasi dengan kemajuan teknologi, agar tidak tergerus dan tergantikan oleh AI.
“Bagaimana AI mem-empower kita, sebetulnya berpikirnya gitu ya. Bagaimana memang menggunakan AI untuk mem-empower hampir semakin banyak manusia. Makanya di sini orang yang advance bisa lebih harus catch up, lebih tinggi lagi.”
Ditegaskannya, posisi AI terhadap manusia bukan mengalahkan, tetapi mengganti. Secara filosofis ia pun sepakat, bahwa manusia sebagai ciptakan Tuhan paling sempurna tidak akan dikalahkan oleh teknologi yang diciptakannya.
Akak tetapi dalam praktikal kehidupan, menurut dosen Magister Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, teknologi AI dengan segala jenis kecerdasan yang disuntikkan padanya telah mampu menggantikan peran manusia di banyak bidang.
Maka jangan terlalu terhibur dengan pandangan filosofis itu. Karena, bila Anda malas pasti akan tergerus oleh apa pun itu, apalagi AI yang makin pintar. Jadilah pencipta dan pengendali teknologi, bukan sekadar pengguna atau pengagum.
Maka dari itu pula, menanyakan cita-cita anak di zaman digital terasa usang karena esok hari setiap anak dituntut mampu menciptakan sesuatu, bukan menjadi apa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tak perlu iri pada AI, dia tidak memiliki hati