Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) menilai depresiasi atau pelemahan rupiah masih lebih baik dibandingkan mata uang negara-negara tetangga.
“Kita relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain, sebagai contoh sampai di Juli ini, 20 Juli ini, secara point to point kita terdepresiasi 4,9 persen, negara seperti Malaysia 6,42 persen, India 7,05 persen, dan Thailand 8,93 persen,” kata Kepala Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Wira Kusuma dalam diskusi FMB9 yang disaksikan secara daring, di Jakarta, Senin.
Dengan adanya ketidakpastian global di financial market yang masih tinggi, kata dia, menyebabkan aliran modal ke emerging market, termasuk Indonesia, menjadi tertahan. Namun secara umum faktor sektor eksternal yang digambarkan oleh neraca pembayaran Indonesia masih solid.
“Namun karena portofolio terjadi capital outflow, maka itu menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar,” ujar Wira.
Kendati demikian, lanjutnya, Indonesia masih perlu waspada terhadap inflasi yang hingga kini terus meningkat dengan posisi Juli tercatat sebesar 4,53 persen. Inflasi tersebut, kata dia, pada umumnya disebabkan oleh cost push atau imported inflation dengan harga komoditas global yang meningkat. Sedangkan komponen-komponen inflasi yang lain seperti inflasi inti masih masih dalam sasaran.
Selain itu adanya Exchange Rate Pass Through (ERPT) yang merupakan persentase perubahan harga domestik impor maupun ekspor akibat perubahan satu persen dalam kurs, turut membuat nilai tukar rupiah semakin melemah.
“Karena nilai tukar yang semakin terdepresiasi ini juga menyebabkan ERPT itu meningkat, menambah tekanan inflasi,” tutur dia.
Adapun nilai tukar rupiah pada 20 Juli terdepresiasi 0,6 persen (ptp) dibandingkan akhir Juni 2022, namun dengan volatilitas yang terjaga. Depresiasi tersebut sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara guna merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global, di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.
Ke depan Bank Indonesia terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan kerja mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Rupiah ditutup menguat 21 poin atau 0,14 persen ke posisi Rp14.993 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.014 per dolar AS.
"Menjelang FOMC, dolar AS cenderung melemah oleh menurunnya ekspektasi pada suku bunga The Fed. Jadi pasar mengantisipasi The Fed akan less hawkish," kata Analis DCFX Futures Lukman Leong saat dihubungi di Jakarta, Senin. Lukman menyampaikan data-data ekonomi AS memperlihatkan penurunan. S&P Global mengatakan pembacaan pada sektor jasa terbaru turun menjadi 47 versus perkiraan 52,6 dan angka sebelumnya 52,7.
Data layanan AS yang buruk mengindikasikan ekspektasi bahwa The Fed tidak akan memaksakan kenaikan suku hingga bunga 100 basis poin untuk Juli.
"Data-data ekonomi AS menunjukkan penurunan, seperti S&P Global PMI yg melihat kontraksi pada sektor servis yg menyumbang hampir 80 persen ekonomi AS," ujar Lukman.
Selain itu, lanjut Lukman, peningkatan inflasi di Negeri Paman Sam juga diperkirakan akan mereda setelah rekor 9,1 persen pada bulan lalu yang sebagian besar disumbangkan oleh energi, dimana harga minyak mentah dunia telah turun dalam sebulan terakhir.
"Namun pasar akan cenderung sidelined menunggu statement The Fed dan data PDB AS," kata Lukman.
Rupiah pada pagi hari dibuka melemah ke posisi Rp14.991 per dolar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp14.951 per dolar AS hingga Rp15.004 per dolar AS.
Sementara itu, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin menguat ke posisi Rp14 992 per dolar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp15.024 per dolar AS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BI : pelemahan Rupiah relatif lebih baik dibandingkan negara tetangga