Dia juga melihat perlunya perubahan sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis yang dinilai berjalan lambat, karena hanya dapat menerima residen atau Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sekitar 20 hingga 30 persen dari pendaftar.
Hal itu menyebabkan jumlah dokter spesialis di Tanah Air jauh dari kata cukup. Untuk dokter spesialis anak misalnya saat ini baru 4.800 orang, padahal kebutuhannya 15.000 dokter. Dengan kondisi saat ini, jumlah dokter spesialis anak yang dihasilkan setahun sekitar 250 hingga 300 orang, maka diperlukan waktu setidaknya 20 tahun untuk mencukupi kebutuhan itu.
Begitu juga dengan dokter spesialis paru, yang saat ini berjumlah 1.300 orang, padahal kebutuhannya 2.700 orang. Dengan produksi per tahun 100 dokter spesialis paru, maka diperlukan waktu setidaknya 14 tahun.
Selain itu, model pendidikan kedokteran perlu diubah. Selama ini yang menjadi hambatan mahasiswa kedokteran adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian itu menjadi kewajiban bagi mahasiswa kedokteran dan bersifat nasional berdasarkan UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Dalam usulan model baru pendidikan kedokteran, UKMPPD tidak perlu diambil jika lulusan pendidikan kedokteran tersebut ingin pilihan karir lain atau dengan kata lain tidak ingin praktik.
“Di luar negeri, pandemi COVID-19 telah memaksa seluruh institusi pendidikan kedokteran untuk melakukan adaptasi besar dan segera dalam proses dan evaluasi hasil pembelajaran. Amerika Serikat menyiapkan strategi untuk mempercepat lulusan dokter seiring dengan meningkatnya kasus COVID-19 di negara itu beberapa waktu lalu,” tambah dia lagi.
Marsis juga mengingatkan selain transformasi pada model pendidikan kedokteran juga perlu transformasi dalam proses pembelajaran, yakni untuk mencapai capaian kompetensi yang ditetapkan dengan aplikasi format pendidikan digital. Misalnya dengan penerapan telehealth dan telemedicine yang sudah terjadi di beberapa fakultas kedokteran beberapa negara.