ANTARAJAWABARAT.com, 31/5 - DPRD Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan Rapat Paripurna membahas sejumlah raperda inisiatif seperti Raperda tentang Transparansi dan Partisipasi (diusulkan oleh Komisi A) dan Raperda Hutan Kemiteraan dan Hutan Hak (diusulkan oleh Komisi B).
Rapat paripurna yang dilaksanakan di Ruang Paripurna Gedung DPRD Provinsi Jabar Jalan Diponegoro Kota Bandung, Selasa, dipimpin Ketua DPRD Jabar Irfan Suryanagara serta para Wakil Ketua DPRD Jabar, sedangkan dari eksekutif hadir Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf, Sekretaris Daerah Jabar Lex Laksmana dan sejumlah pejabat lainnya.
Ketua Komisi B DPRD Jawa Barat Hasan Zaenal mengatakan, munculnya raperda inisiatif itu berawal dari sejumlah kegagalan pengelolaan hutan lestari karena belum punya kerangka landasan yang kuat.
Selain itu, kata Hasan Zaenal, muncul juga perkebunan, pencurian kayu serta perambahan kawasan hutan di Jawa Barat.
"Oleh karenanya sudah saatnya ada pengembangan hutan kemiteraan dan hutan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Hasan.
Dikatakannya, selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, program hutan kemitraan dan hak hutan itu diharapkan mampu memasok kebutuhan kayu di Jawa Barat.
"Khususnya kayu-kayu seperti jati, sengon, akasia, bambu dan mahoni," ujar Hasan Zaenal.
Menurutnya, program hutan rakyat yang sekarang ada terbukti mampu meningkatkan produksi kayu seperti pada tahun 2005 dengan luas lahan hutan rakyat 220 ribu hektare bisa memproduksi 925 ribu meter kubik kayu.
Kemudian, katat Hasan Zaenal, pada tahun 2008 dengan 264 ribu hektare hutan rakyat, jumlah kayu yang diproduksi mencapai 2,9 juta meter kubik.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf berharap raperda soal hutan ini akan berdampak kepada penghijauan di daerah hulu.
"Selain ada unsur pemanfaatan oleh warga yaitu sebagai hutan produksi, hutan pun harus menjadi pendukung lingkungan," kata Dede Yusuf.
Wagub mengakui bahwa Provinsi Jabar saat ini belum sanggup memenuhi kebutuhan kayunya.
Menurutnya, sebagian besar masih disuplai dari daerah lain dan banyaknya kawasan hutan lindung pun menjadi salah satu penyebab belum terpenuhinya kebutuhan kayu di Jabar.
"Karena hutan lindung, jadi tidak bisa dimanfaatkan. Namun hutan produksi yang ada pun belum mencukupi karena permintaan (demand) lebih besar dari suplai yang ada," ujarnya.
Dikatakannya, Provinsi Jabar sebenarnya sedang berupaya mengejar "carbon credit" melalui perluasan hutan yang terus menerus.
Ia mengatakan, jika "carbon credit" itu diberlakukan di Provinsi Jabar dengan luas hutan yang ada sekarang yaitu mencapai 1 juta hektare, maka hutan akan memberi pemasukan yang cukup besar mencapai Rp 1 triliun.
"Maka hutan tidak hanya berfungsi sebagai konservasi tapi juga punya nilai ekonomis. Sayangnya, Kementerian Kehutanan tidak menetapkan 'carbon credit' untuk hutan-hutan di pulau Jawa, termasuk Jawa Barat," kata Dede Yusuf.
(ajat)