Bandung (ANTARA) - Cucu KH Idham Chalid, Mohamad Grandy, mengungkapkan kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih kursi legislatif di DPR/MPR karena tak menembus ambang batas parlemen (parlementary treshold), merupakan tamparan politik terkeras bagi partai itu sejak didirikan.
"Kita harus jujur. Kegagalan PPP masuk parlemen adalah aib terbesar sepanjang sejarah partai ini. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah sinyal keras dari umat bahwa PPP sudah melenceng jauh dari khitah perjuangan," kata Grandy yang juga Direktur Eksekutif Idham Chalid Institute ini di Bandung, Rabu.
Grandy mengungkapkan kejadian dalam Pemilu tahun 2024 lalu, seharusnya menjadi momentum untuk muhasabah, dan bukannya berambisi mempertahankan jabatan.
Pasalnya, tegas Grandy, di era kepemimpinan KH Idham Chalid yang merupakan deklarator PPP dan mantan Ketua MPR/DPR awal Orde Baru itu, partai yang kini berlambang Ka'bah tersebut berhasil melewati berbagai tekanan dan tantangan, terutama pada Pemilu era Orde baru.
Saat ini, Grandy menilai arah politik PPP tidak jelas. Koalisi yang dibangun tidak strategis dan sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh basis masa partai, mesin partai tidak bekerja optimal, dan figur-figur yang seharusnya menjadi perekat umat tersingkir dari posisi strategis.
"Ini seperti nakhoda kapal yang menabrakkan kapalnya ke karang, lalu minta diberi kapal baru. Ini logika yang mencederai akal sehat dan merendahkan martabat partai," ucapnya.
Menurut Grandy, Muktamar akhir September 2025 ini adalah momen terakhir bagi PPP untuk menyelamatkan diri dari kepunahan politik.
Jika partai kembali memilih figur yang sama atau orang-orang yang masih satu lingkaran dengan kegagalan kemarin, maka PPP akan semakin sulit pulih.
"Saya ingin ingatkan para muktamirin: jangan terjebak dalam politik transaksional dan bagi-bagi kursi. Ini saatnya memilih pemimpin yang memiliki integritas, visi besar, dan rekam jejak memperjuangkan aspirasi umat, bukan sekadar pemimpin darurat yang muncul karena kompromi kekuasaan. PPP tidak boleh dijadikan mainan elite politik," katanya.
Grandy juga mengingatkan PPP bukan hanya sekadar partai politik, tetapi simbol perjuangan umat Islam di Indonesia, sehingga mengingkari amanah itu sama saja dengan mengkhianati sejarah dan pengorbanan para pendiri partai.
"PPP lahir dari semangat persatuan umat. K.H. Idham Chalid dan para ulama mendirikan partai ini untuk menjaga nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan. Jika sekarang PPP hanya dijadikan kendaraan pribadi untuk bertahan hidup secara politik, maka generasi pendiri akan menangis di alam sana," katanya.
Grandy menegaskan akan terus mengawal proses regenerasi kepemimpinan di tubuh PPP, mengajak kader muda dan simpatisan partai untuk bersuara lantang menolak status quo, serta mendorong agar muktamar menjadi ajang kebangkitan PPP, dan bukan sekadar formalitas.
"Ini kesempatan terakhir. Jika PPP gagal melakukan reformasi kepemimpinan sekarang, maka jangan salahkan sejarah jika PPP benar-benar menghilang dari peta politik nasional. Dan itu berarti kita, generasi hari ini, gagal menjaga warisan para ulama," tuturnya.
