Kendati demikian, situasi komedi dalam film "Mendadak Dangdut" tak sirna, bahkan berkembang baik berkat hadirnya para komedian seperti Opie Kumis yang membuat penonton tertawa dengan celetukan-celetukan ala Betawinya, Keanu Angelo dengan gaya marah-marahnya, serta Adi Sudirja dengan celetukan kebatak-batakannya.
Singkatnya, pelarian Naya membawa ia, Lola, dan sang ayah ke Dusun Singalaya, sebuah daerah pesisir di luar hiruk pikuk Jakarta. Di sana, di dekat rumah baru ayah mereka, seringkali terdengar alunan musik dangdut dari panggung dadakan orkes Ria Buana. Biduannya, Tata, memiliki pesona vokal yang kuat namun kerap berselisih dengan kibordisnya, Wawan (diperankan Keanu Angelo), yang merasa Tata terlalu mendominasi panggung orkes daripada pemain musiknya.
Konflik ini mencapai puncaknya hingga Wawan diusir oleh ayahnya sendiri, Haji Romli (Opie Kumis), sang pemimpin orkes. Wawan pun menumpang tinggal di kontrakan Wendhoy, pemain kendang Ria Buana.
Kehadiran orkes dangdut sebagai latar belakang dan potensi kolaborasi mengingatkan kita pada elemen sentral musik dangdut dalam film tahun 2006, meskipun kali ini dengan dinamika dan konflik internal orkes yang lebih dieksplorasi. Mungkin Monty Tiwa, yang dulu berjuang untuk karyanya diakui, kini lebih tertarik untuk mengeksplorasi dinamika kelompok dan perjuangan individu dalam meraih impian di tengah kerasnya kehidupan.
Sementara Naya dan Lola mencari tempat tinggal baru. Mereka tiba di kontrakan Ki Yatno (Adi Sudirja), seorang pemilik kontrakan serba bisa yang tak hanya menyewakan kamar, namun juga menawarkan jasa pasang susuk hingga membuka biro jasa. Awalnya tidak ada yang tahu bahwa Naya diduga terlibat kasus pembunuhan manajernya.
Sampai televisi kontrakan Wendhoy menampilkan berita pencarian buronan dengan wajah Naya terpampang, lengkap dengan imbalan 10 juta rupiah yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi.
Wawan, yang menyadari kehadiran Naya di sekitar kontrakan Dhoy, melihat sebuah peluang emas. Alih-alih melaporkannya ke polisi, ia melihat potensi untuk memaksa Naya agar bersedia menjadi biduan untuk orkes dangdut impiannya jika tidak ingin dilaporkan kepada pihak berwajib.
Mungkin ada sedikit kesamaan dengan karakter-karakter pendukung di film 2006 di mana tokoh utama terpaksa mesti mengikutinya (kala itu Petris dipaksa tokoh bernama Rizal yang diperankan aktor Dwi Sasono). Namun kali ini motivasi Wawan lebih pragmatis, mencerminkan bagaimana kesempatan bisa muncul di tengah situasi yang sulit.
Saat Naya, melalui biro jasa Ki Yatno, sibuk mencari seorang pengacara untuk membersihkan namanya, Wawan di sisi lain berusaha untuk mendaftarkan orkes barunya ke festival dangdut bergengsi, Larung Pes.
Sebuah ide brilian (atau mungkin putus asa) muncul di benak Naya: bergabung dengan orkes Wawan. Ia memiliki keyakinan bahwa musik, terutama irama dangdut yang riang, dapat membantu memulihkan ingatan ayahnya.
Penggunaan musik sebagai media penyembuhan dan pemulihan ingatan menjadi elemen naratif yang unik dan belum pernah dieksplorasi dalam film tahun 2006, menunjukkan eksplorasi tema yang lebih dalam oleh Monty Tiwa sebagai sutradara.
Maka, dimulailah babak baru dalam hidup Naya. Ia, seorang penyanyi pop, kini harus beradaptasi dengan gemerlap dan dinamika panggung dangdut. Penampilan perdana mereka ternyata memukau penonton. Di antara kerumunan, Rizal Maduma (Dwi Sasono), seorang mantan penyanyi sukses yang kini beralih menjadi produser musik dangdut, tertarik dengan penampilan Naya dan orkesnya.
Rizal menawarkan untuk mendaftarkan orkes Wawan dan Naya ke festival Larung Pes. Orkes mereka pun mendapatkan nama unik: Yaya Aduduh, sebuah nama unik yang berawal dari insiden lucu ketika Lola hampir keceplosan menyebutkan nama sang kakak yang sedang dicari polisi.
Akhir tanpa kejutan
