Jakarta (ANTARA) - Setelah sebelas hari jeda, bursa saham Indonesia dibuka kembali, bukan dengan optimisme, tapi dengan napas tertahan dan layar merah menyala.
Tak sulit menebak arahnya, jika jeli membaca gelombang dari arah Amerika yang masih menjadi jangkar utama dalam peta keuangan dunia.
Pasar AS semalam kembali bergejolak, diliputi kecemasan soal perlambatan ekonomi dan tekanan inflasi yang terus menghantui.
Ketidakpastian makin diperparah oleh pernyataan Presiden Trump yang secara tiba-tiba mengancam akan menaikkan tarif terhadap Tiongkok.
Kombinasi dari sinyal-sinyal negatif ini memicu aksi jual besar-besaran yang menghapus triliunan dolar dari kapitalisasi pasar dalam hitungan hari.
Namun jika dilihat lebih jernih, pola semacam ini sudah sering terjadi dalam sejarah pasar global.
Lonjakan kekhawatiran yang mengarah ke penurunan tajam dalam waktu singkat sering kali berbalik menjadi peluang pemulihan.
Reaksi pasar terhadap isu tarif menunjukkan betapa sensitifnya para pelaku terhadap arah kebijakan yang belum pasti.
Bahkan sempat muncul harapan bahwa kenaikan tarif akan ditunda selama 90 hari, yang segera disangkal Gedung Putih, dan sentimen pun kembali melemah.
Tapi ini juga memperlihatkan dinamika klasik pasar yang kerap merespons bukan hanya pada realitas, tapi juga persepsi dan ekspektasi.
Efek dari ketegangan ini pun langsung terasa di pasar mata uang. Aset-aset safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss menguat, sementara mata uang berisiko seperti dolar Australia dan dolar Selandia Baru justru terjun bebas.
Bahkan dolar AS, yang selama ini dikenal sebagai pelindung saat krisis, kini mulai kehilangan daya tarik karena kekhawatiran bahwa AS sendiri justru menjadi pusat guncangan.
Saat pasar mulai mempertanyakan kekuatan ekonomi AS, arus modal pun berbalik arah, mencari tempat yang lebih stabil dan menjanjikan.
Menariknya, di tengah kekacauan ini, pasar Asia justru mulai menunjukkan ketenangan. Jepang dan Korea Selatan mengalami rebound, mengisyaratkan bahwa investor perlahan mulai menerima kenyataan baru.
Ini memberikan latar penting bagi pembukaan kembali pasar saham Indonesia. Meskipun indeks langsung anjlok 9 persen dan memicu trading halt, kondisi ini bisa dianggap sebagai proses koreksi yang tertahan.
Selama jeda sebelas hari karena libur, tekanan sudah menumpuk dan akhirnya dilepaskan dalam satu tarikan napas saat bursa dibuka.
Tapi di balik penyesuaian itu, tersimpan peluang dan sinyal penting. Harga transaksi yang tercipta hari ini ternyata masih jauh lebih tinggi dari ekspektasi paling pesimistis dari pasar sebelumnya.
Ini bukan sekadar pemulihan teknikal, tapi refleksi bahwa Indonesia tidak lagi hanya menjadi zona aman pasif.
Indonesia telah bertransformasi menjadi aktor strategis dalam arus modal global. Ketika banyak negara diguncang tekanan geopolitik dan ekonomi, Indonesia tampil sebagai entitas netral dengan posisi tawar yang semakin kuat.
Dengan sumber daya alam yang kaya, populasi besar, dan kebijakan luar negeri yang relatif stabil, Indonesia menjadi panggung potensial bagi investasi jangka panjang.
Inilah momen krusial bagi para investor untuk meninggalkan pola pikir jangka pendek dan mulai menggunakan analisis struktural yang lebih dalam.
Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai ekonomi Indonesia secara domestik sebenarnya tidak terlalu rentan terhadap guncangan perdagangan global, dan pasar berpotensi pulih dengan bentuk kurva V karena masuknya likuiditas global ke dalam negeri.
Pasar rebound
Pasar Indonesia memiliki banyak area bernilai tinggi yang belum tereksplorasi. Sektor-sektor seperti keuangan, energi, dan teknologi dalam negeri menunjukkan daya tahan dan potensi tumbuh lintas siklus.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan di tengah tensi global yang meningkat, pasar domestik Indonesia diyakini memiliki penyangga (buffer) yang kuat.
Andry menuturkan penyangga yang kuat dimiliki Indonesia adalah permintaan di dalam negeri yang stabil selama Ramadhan dan kesiapan Bank Indonesia (BI) untuk intervensi nilai tukar rupiah dengan cadangan devisa yang berada di level baik.
Rebound yang terjadi setelah trading halt hari ini menjadi bukti awal bahwa tekanan pasar tidak selalu berakhir dalam kehancuran.
Sektor keuangan yang dipimpin oleh bank-bank besar mulai bangkit, dan ini bisa menjadi titik balik dari fase kepanikan menuju fase stabilisasi.
Fenomena ini bukan sesuatu yang asing. Masyarakat pernah menjadi saksi untuk skenario serupa pada Maret 2020 saat awal pandemi.
Pasar dunia anjlok dalam satu hari dengan indeks saham besar di Eropa dan AS turun hingga dua digit. Dalam satu momen yang mencengangkan, hampir seluruh indeks saham utama dunia sempat mengalami koreksi tajam.
Bursa Prancis terjun hingga 12 persen dalam sehari, Spanyol terkoreksi 14 persen, Inggris merosot 11 persen, sementara Italia bahkan jatuh lebih dalam lagi, mencapai 17 persen. Pasar Amerika Serikat pun tak luput dari tekanan, dengan penurunan sebesar 10 persen.
Namun kepanikan itu tak bertahan lama. Seiring bergulirnya serangkaian kebijakan penyangga dari berbagai negara, ketegangan pasar perlahan mencair.
Investor mulai kembali masuk, dan pasar global pun mencatat rebound cepat yang membawa berkah besar bagi mereka yang mampu bertahan dan membaca peluang di tengah kekacauan.
Fenomena seperti ini sejatinya bukan hal baru. Ini adalah pola klasik dalam sejarah pasar, gejolak tajam, disusul pemulihan kuat.
Fluktuasi seperti ini kerap kali menjadi pengingat keras bahwa dalam dunia investasi, kepanikan jangka pendek sering menyimpan potensi keuntungan jangka panjang.
Pasar, seperti hidup, sering tak memberi aba-aba. Tapi justru saat suasana paling sunyi, peluang paling besar diam-diam disiapkan. Mereka yang tetap tinggal saat lampu padam, biasanya yang pertama melihat terang.
Saat keadaan tampak kacau, lambat, atau bahkan membuat frustrasi, naluri seseorang mungkin mendorong untuk mundur. Namun justru di situlah letak titik balik, jika mampu menahan diri, menjaga logika, dan bertindak dengan strategi.
Investor yang bertahan dan berpikir jangka panjang saat itu mendapat keuntungan besar dari pemulihan. Ini bukan hanya pelajaran tentang pasar, tapi juga cermin tentang bagaimana manusia merespons krisis.
Kepanikan membuat banyak orang menyerah. Tapi sejarah berpihak pada yang tenang yang tahu kapan harus bertahan, dan kapan mengambil langkah.
Logika ini berlaku di hampir semua aspek kehidupan. Ketika keadaan tampak kacau, ketika emosi mengaburkan rasionalitas, yang diperlukan bukan sekadar keberanian, tapi konsistensi terhadap prinsip dan metode.
Banyak orang hanya fokus pada harga hari ini, padahal yang lebih penting adalah nilai dan arah jangka panjang.
Di saat pasar tampak tak menentu, itulah saat paling tepat untuk melihat lebih dalam, bukan hanya ke laporan keuangan atau grafik, tapi ke fondasi ekonomi yang menopang sebuah negara.
Indonesia sedang berada di momen seperti itu. Turbulensi pasar bukanlah indikasi kelemahan, melainkan bagian dari transisi menuju tahap berikutnya.
Selama paham medan, tenang dalam badai, dan tak ikut hanyut dalam arus ketakutan massal, maka pasar selalu punya ruang untuk pulih dan memberi hadiah pada mereka yang sabar. Bahkan sering kali, saat keadaan terlihat paling buruk, pasar sebenarnya sedang menyiapkan perubahan terbesar.
Dan di balik grafik yang turun tajam, ada alur cerita yang belum selesai. Kadang, momen paling suram justru pembuka dari bab yang paling menguntungkan. Seperti halnya hidup, pasar selalu menguji bukan hanya logika, tapi keyakinan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Respons terbaik saat terjadi trading halt dan rebound IHSG