Saya dicolek oleh panitia dari Perpusnas dan dipersilakan duduk di kursi baris kedua, persis di belakang Bapak Suharyanto. Saya pun ikut menyimak dialog yang membahas proses kreatif dan dampak karya-karya A.A Navis terhadap kehidupan masyarakat saat ini.
Saat sesi tanya jawab tiba, tiba-tiba saya disodori mikrofon dan disuruh bicara tentang A.A. Navis di mata anaknya. Awalnya saya menolak dan berkata,”Uni Lusi saja, beliau anak nomor dua.” Tapi si Uni malah bilang,”Uni udah tadi di pembukaan. Rinto tadi belum datang.”
Teringat ajaran Papi, jika mikrofon sudah di tangan, pantang surut dan mundur lagi. Hadapi! Lalu, sesuai permintaan, saya bicara tentang kebiasaan-kebiasaan Papi di rumah kepada anak-anaknya. Di kepala saya berputar sebuah serial panjang yang sangat menarik untuk dikisahkan balik.
Tapi saya harus sadar diri, waktu tidak panjang sehingga saya hanya mengisahkan bahwa Papi adalah ayah yang suka bercanda. Jika di tulisan-tulisannya sarat kritik dan cemooh, maka dalam keseharian Papi pandai melucu.
Salah satunya, yang saya ceritakan di hadapan puluhan peserta forum dialog di Perpusnas, adalah ketika kami di rumah saling ukur tinggi badan. Ternyata yang paling pendek di rumah adalah ayah kami. Bahkan dibanding anak-anak perempuannya, beliau lebih rendah badannya.
Tapi Papi tidak pernah minder atau rendah diri dengan fisiknya. Sambil berseloroh beliau bilang,”Coba kalau diukur dari langit, pasti Papi paling tinggi.”
Dan sekarang Papi ada di langit, di tempat yang maha tinggi, agung, dan mulia. Semoga Papi senang di sana, bertemu Mami, dan menyaksikan segala tingkah polah kami, anak, menantu, cucu, dan cicit, yang tidak akan pernah berhenti bangga dan merindu.
*) Rinto A.Navis, anak almarhum A.A. Navis
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dinding pameran 100 Tahun A.A. Navis menghadirkan senyum dan airmata