Dinding itu memuat tahun-tahun bersejarah dalam hidup seorang A.A. Navis. Mulai dari 17 November 1924 atau tanggal kelahiran yang dilengkapi dengan foto rumah nenek kami di Padang Panjang, tempat Papi menghabiskan masa kecilnya.
Lalu tahun-tahun Papi sekolah di INS Kayu Tanam, tahun Papi bekerja di pabrik porselen, terlibat perang kemerdekaan, lalu mulai jadi seniman di Bukittinggi, dan seterusnya.
Pandangan saya agak lama tertuju pada angka 1955 yang dilengkapi dengan sebuah foto sampul majalah dan keterangan yang bertuliskan “Cerpen Robohnya Surau Kami memenangkan hadiah II sayembara majalah Kisah Edisi No. 5, Mei 1955 Th.III”.
Dari sinilah A.A. Navis mulai mendapatkan titel sebagai pengarang dan dari karyanya ini nama beliau tertera dalam banyak ulasan, bahkan tercantum dalam buku pelajaran Bahasa Indoensia yang saya pelajari ketika SMP dulu.
Di dalam pameran itu, tahun-tahun berikutnya dalam perjalanan dan kegiatan A.A. Navis pun tersusun dengan sangat runut. Papi menikah tahun 1957 dengan Aksari Yasin, lalu kami lahir satu per satu dalam kurun waktu 10 tahun.
Tahun 1968, sebuah novel berjudul “Saraswati, Si Gadis Dalam Sunyi” memenangkan Novel Remaja Terbaik dalam Sayembara Menulis Novel yang diselenggarakan oleh UNESCO dan IKAPI.
Inilah momen nama Papi untuk pertama kali bersinggungan dengan UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, yaitu badan dunia di bawah PBB yang mengurus masalah Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan.
Angka-angka yang merujuk pada tahun tertera dengan jelas, baik saat ayah saya menekuni kesenian, terjun ke politik dan menjadi anggota DPRD Sumatera Barat (1971-1982), berkarir di media, menekuni dunia pendidikan dan kebudayaan, mendapatkan beberapa penghargaan dari karya tulisnya, hingga akhirnya wafat di Padang, 22 Maret 2003.
Spektrum - Dinding pameran 100 Tahun A.A. Navis menghadirkan senyum dan airmata
Oleh Rinto A Navis *) Selasa, 26 November 2024 9:50 WIB