Seperti tokoh-tokoh pejuang lainnya, jalan Emma dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak selalu mulus. Tekanan dan intimidasi dari pemerintah kolonial Belanda menjadi batu sandungan yang dihadapinya semasa berjuang.
Kisah perjuangan Emma masih terekam jelas dalam ingatan putrinya, Amarawati Poeradiredja Susmono. Ia menceritakan meskipun saat itu ibunya bekerja di perusahaan milik Belanda, sikapnya jelas tidak ingin pro kepada penjajah dan memegang prinsip nonkooperatif.
Pada tahun 1948 ketika Belanda menduduki Kota Bandung, Emma bersama para pegawai jawatan kereta api yang pro-Indonesia memutuskan untuk mengungsi di sebuah daerah bernama Cisurupan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, sebelum pindah ke Yogyakarta.
Amarawati menyaksikan bagaimana serangan Belanda memaksa ia berpisah dengan keluarganya untuk mengungsi ke wilayah yang lebih aman.
"Orang tua saya dikejar-kejar. Kakek, nenek, sama saya mengungsi ke daerah Ciamis. Ibu Emma saat itu pergi ke Yogyakarta. Waktu di Yogyakarta bernaung ke Sri Sultan (Hamengkubuwono IX) tapi dia ditawan oleh Belanda. Ditawan juga kakak saya, sampai mau pulang dititipkan ke orang PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api)," kenang Amarawati.
Selain aktif dalam perjuangan nasional, Emma juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki jiwa sosial tinggi terutama yang berkaitan dengan isu perempuan.
Seperti yang dikenang Amarawati, pada masanya Emma bersama tokoh-tokoh lainnya menggalakkan pemberantasan prostitusi. Selain itu, ia juga turut serta dalam membangun sekolah, rumah yatim, hingga terlibat mengurus anak-anak telantar.
"Bukan tangan dia semua, jadi bersama-sama. Kerjanya bersama-sama, tidak bisa kerja sendiri. Jadi bersama teman-teman dalam membuat itu semua," kata Amarawati saat menggambarkan sosok ibunya yang memperjuangkan isu sosial dan perempuan secara gotong royong.