Jakarta (ANTARA) - Film bisu hitam putih berjudul "Samsara" karya Sutradara Garin Nugroho menawarkan pengalaman sinematik yang tidak biasa kepada para penikmat film.
"Dalam 'Samsara', kami mencoba untuk kembali ke akar pertama kali sinema muncul, yaitu film bisu dengan iringan musik live," kata Produser "Samsara" Gita Fara dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
"Bentuk ini kami harapkan bisa memberikan pengalaman sinematik yang luar biasa," ia menambahkan.
Gita menuturkan bahwa "Samsara" mengajak para penikmat film kembali menikmati suasana masa lalu sekaligus mencicipi masa depan dengan perpaduan sinema, musik tradisi Gamelan Yuganada, dan musik elektronik Gabber Modus Operandi.
"Samsara" menampilkan elemen pertunjukan tradisional Bali seperti gamelan, tari tradisional, topeng, dan wayang yang dipadukan dengan musik elektronik serta tari dan topeng kontemporer.
Penggarapan musik pengiring film itu dipimpin oleh Komposer Wayan Sudirana dan Kasimyn, yang memadukan musik Gamelan Yuganada dan musik elektronik Gabber Modus Operandi.
Vokalis Ican Harem, Gusti Putu Sudarta, Dinar Rizkianti, dan Thaly Titi Kasih menambahkan warna pada iringan film.
Pembuatan film juga melibatkan koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani, Gus Bang Sada, Siko Setyanto, maestro tari I Ketut Arini, Cok Sawitri, Aryani Willems, Valentine Payen-Wicaksono, dan penari-penari dari Komunitas Bumi Bajra Bali.
Sutradara Garin Nugroho menyebut film yang ia buat kali ini menggabungkan unsur film, unsur teater, dan unsur seni tradisi.
"Untuk bermain film bisu itu tidak mudah, karena biasanya dimainkan dalam tradisi Barat rata-rata, bukan dari sisi kita. Makanya, para aktor harus tahu betul konsep dan ketiga unsur seni itu," katanya.
Alasan pilih Juliet
Sutradara Garin Nugroho mengungkapkan alasannya memilih penari balet Juliet Widyasari Burnett sebagai pemeran Sinta dalam film "Samsara".
"Kalau dikatakan, saya memerlukan suatu 'nasi campur' untuk menemukan dunia Barat dalam film, karena ceritanya juga bangsawan, yang pada masa itu banyak orang bule menikah dengan bangsawan Bali," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Garin mengemukakan kebutuhan visual yang sesuai dengan kondisi Bali pada tahun 1930-an dalam menampilkan karakter Sinta sebagai anak berdarah campuran Indonesia dan Eropa.
Di samping itu, dia memerlukan pemeran yang mampu menyerap unsur film, teater, dan seni tradisi film bisu dengan gerakan tubuh yang tepat.
"Saya membutuhkan tubuh yang mampu menyerap bunyi-bunyi yang ada dalam industri tiga elemen tadi, dan tubuhnya juga tepat dengan Indonesia, karena banyak sekali orang Barat yang tubuhnya besar-besar," kata Garin.
Sebagai penari keturunan Indonesia-Australia, menurut dia, Juliet dapat memenuhi kebutuhan peran dan memiliki kecocokan dengan kultur serta visualisasi perempuan Indonesia pada masa itu.
Tarian yang dibawakan Juliet, ia mengatakan, pun seakan dapat menyatu dengan suasana alam di Bali pada masa lalu.
Garin juga menyampaikan bahwa Juliet dapat secara lugas memberinya saran untuk improvisasi adegan.
"Makanya saya pilih Juliet, dan kebetulan dia pebalet ternama dan menjadi ciri dari karya ini. Kebetulan juga dia assamble-nya dengan Ario Bayu," katanya.
"Samsara" berlatar Bali pada tahun 1930-an. Film ini bercerita tentang Darta, pria dari keluarga miskin yang lamarannya ditolak oleh keluarga Sinta yang kaya raya.
Penolakan itu mendorong dia untuk membuat perjanjian dengan Raja Monyet dan melakukan ritual gelap demi mendapatkan kekayaan, tetapi proses itu justru menimbulkan penderitaan.
Tokoh Darta diperankan oleh aktor Ario Bayu, sedangkan tokoh Sinta diperankan oleh Juliet.
"Samsara" menampilkan elemen pertunjukan tradisional Bali seperti gamelan, tari tradisional, topeng, dan wayang yang dipadukan dengan musik elektronik digital serta tari dan topeng kontemporer.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Film "Samsara" tawarkan pengalaman sinematik tak biasa