Pada bangunan Grya Aneta muncul tantangan untuk membuat bangunan tiga lantai tanpa mengganggu kondisi bangunan eksisting. Alat bor modifikasi dengan ketinggian tidak lebih dari 4 meter dipakai dalam proyek itu agar bangunan eksisting tidak rusak.
Metode bore pile yang dipakai adalah melubangi tanah terlebih dahulu. Ketika tanah sudah berlubang, lalu diisi besi dan dicor agar menjadi pondasi untuk menopang bangunan.
Apabila memakai tiang pancang atau orang awam menyebutnya paku bumi, maka getaran saat penanaman tiang pancang untuk pondasi justru berpotensi merusak bangunan-bangunan lain di sekitar kompleks perkantoran Antara.
Kondisi lahan yang cukup sempit mengakibatkan kendaraan operasional konstruksi sulit melakukan manuver sehingga pekerjaan tidak dapat dilakukan secara cepat dan harus memanfaatkan semaksimal mungkin lahan yang tersedia.
Bangunan yang sekarang menjadi resepsionis tidak boleh dihancurkan. Namun, di sebelah kiri gedung resepsionis ada jalan gang berukuran 3 meter yang akhirnya dioptimalkan untuk mobilisasi kendaraan dan alat-alat konstruksi.
Ketika pengecoran berlangsung, truck mixer beton yang dikenal sebagai truk molen tidak bisa masuk ke dalam Grya Aneta dan terpaksa berhenti di tepi Jalan Antara. Para pekerja proyek harus mengangkut secara manual beton dari pinggir jalan raya untuk masuk ke dalam gedung yang sedang melalui tahap pemugaran.
Di dalam pemanfaatan bangunan cagar budaya, pendekatan adaptasi dipakai agar relevan dengan kondisi terkini. Gaya arsitektur cagar budaya tetap dipertahankan agar nilai-nilai sejarah yang terkandung tetap melekat kuat.
Kiat khusus
Bangunan-bangunan cagar budaya kadang terbengkalai dan runtuh di tangan alam—bila tidak segera diperlakukan secara baik—nasibnya bisa berakhir sangat tragis menjadi rata dengan tanah.