Kota Bandung (ANTARA) - Bandung, yang dikenal sebagai “Paris van Java”, selalu mengundang kekaguman atas keindahan gemerlap cahaya lampu saat malam tiba.
Salah satu titik yang menjadi pusat perhatian adalah kawasan Asia-Afrika, yang menyajikan pemandangan memukau dengan lampu jalan yang menghiasi setiap sudutnya.
Ternyata, di balik gemerlap kota ini terdapat jejak sejarah panjang tentang kemajuan teknologi listrik di Tanah Air. Salah satu simbolnya adalah Gedung Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO) yang berdiri kokoh sejak tahun 1939.
Gedung GEBEO saat ini telah beralih fungsi sebagai Kantor PLN Distribusi Jawa Barat yang terletak di Jalan Asia Afrika No. 73, Kota Bandung. Bukan hanya bangunan bersejarah, keberadaan GEBEO menjadi saksi bagaimana perkembangan teknologi listrik di Kota Bandung maupun sebagian wilayah Jawa Barat.
Dibangun pada rentang tahun 1933 hingga 1939, gedung ini dirancang oleh arsitek asal Belanda bernama CPW Schoemaker. Ia menuangkan gaya art deco yang modern pada masanya, dengan bentuk bangunan menyerupai kapal yang seolah tengah berlayar di samping aliran Sungai Cikapundung.
Selang tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1946, bangunan yang bisa dilihat saat ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh arsitek asal Amsterdam, Belanda, yakni Gmelig Meyling dengan mengubah sentuhan fasad gedung maupun beberapa ornamen pada jendela bangunan.Pemugaran tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, sebab sebagian bangunan ini sempat hancur dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Pada saat tragedi itu, sebanyak 200 ribu warga Kota Bandung yang membakar bangunan maupun rumah mereka dalam kurun waktu 7 jam.Rumah warga serta bangunan yang dibakar secara mandiri itu dilakukan agar para penjajah tidak bisa merebut wilayah Kota Bandung.
Hal ini yang membuat sang arsitek dari Negeri Kincir Angin tersebut harus melakukan restorasi, perbaikan, hingga perluasan terhadap gedung ini.
Jejak listrik di Jabar
Menurut catatan arsip yang dimiliki oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, sejarah gedung ini dimulai pada tahun 1906, ketika perusahaan listrik milik swasta kala itu Bandungsche Electriciteit Maatschappij (BEM) membangun sebuah pembangkit listrik di kawasan Dago untuk memasok energi bagi masyarakat kota.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pertama kali dilakukan pada tahun 1906 dengan nama Waterkracht werk Pakar aan de Tjika Poendoeng nabij Dago (PLTA Dago Pakar) dengan sumber airnya berasal dari Sungai Cikapundung.
Hanya bertahan 14 tahun, Bandungsche Electriciteit Maatschappij (BEM) mengalami pergantian nama pada 1920 menjadi Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO).
“Perusahaan BEM saat itu dinilai gagal karena dalam menyediakan pasokan listrik yang secara tidak maksimal. Oleh karena itu, kelahiran GEBEO di tahun 1920 dinilai sebagai solusi atas permasalahan yang ditinggalkan oleh BEM,” kata Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum Bidang Pengkajian Budaya Disbudpar Kota Bandung, Garbi Cipta Perdana saat ditemui di Bandung pada 20 Maret 2024.
Penggunaan nama Gemeenschappelijk pada perusahaan ini menunjukkan bahwa saat itu perusahaan tidak lagi mempunyai peranan milik swasta seutuhnya, melainkan sebagian sahamnya telah dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda.Di bawah kepemimpinan GEBEO sejak 1920, perusahaan ini terjadi perluasan jaringan listrik dan peningkatan kualitas layanan.
Bahkan GEBEO terus melakukan berbagai inovasi dan ekspansi, tidak hanya melayani kebutuhan listrik wilayah Bandung Raya saja, namun pelayanannya telah berkembang hingga mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat yang ditopang oleh PLTA Dago Bengkok yang rampung dibangun pada 1922, dan instalasi pembangkit tersebut merupakan saluran tegangan tinggi pertama di Hindia.
Adapun sebelum menempati gedung yang berada di Jalan Asia-Afrika saat ini, GEBEO dulu berkantor di Bragaweg (sekarang Jabarano Coffee Braga) dari tahun 1920 hingga selesai dituntaskan oleh CPW Schoemaker pada 1939. Asisten Manajer Komunikasi PLN Jabar Eriga Wahyuwiranti menyampaikan terdapat sebuah lorong di gedung tersebut berisi berbagai relief-relief kayu yang masih dipertahankan. Hal ini mampu membuktikan bahwa zaman dahulu manusia sudah menggunakan listrik untuk keperluan sehari-hari.
Saat memasuki lorong ini, mata pengunjung akan tertuju pada relief-relief kayu yang menghiasi dindingnya. Relief-relief ini bukan sekadar hiasan, melainkan jendela ke masa lalu yang memukau. Setiap ukiran kayu menceritakan kisah-kisah dari zaman Belanda, termasuk salah satu cerita yang paling menarik yaitu kisah tentang penggunaan listrik untuk kereta trem di Kota Bandung kala itu.
Relief kayu tersebut juga menggambarkan adegan sehari-hari dari zaman kolonial Belanda di Bandung, mulai dari aktivitas manusia membersihkan debu menggunakan vacuum cleaner hingga tampak seorang pria mandi menggunakan water heater listrik.
Meskipun pada waktu itu penggunaan listrik masih terbatas, gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa manusia pada masa itu sudah mulai mengenal dan menggunakan tenaga listrik untuk keperluan sehari-hari.
Pada relief kayu ini, pengunjung dapat melihat gambaran penerangan lampu-lampu listrik di jalanan, rumah-rumah, dan bangunan-bangunan penting lainnya yang mencakup sebagian wilayah di Bumi Priangan.
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pada zaman itu teknologi listrik masih dalam tahap perkembangan awal, keberadaannya telah memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa itu.
Tidak hanya sebagai saksi bisu dari masa lalu, lorong ini juga menjadi tempat refleksi bagi manusia tentang bagaimana perkembangan teknologi telah mengubah kehidupan manusia dari masa ke masa.
“Karena di jaman itu, orang-orang Belanda itu sudah mulai pakai peralatan listrik. Seperti penyedot debu, pemanas air, setrika, kulkas mereka sudah pakai. Terus juga kompor dan lain-lain mereka sudah pakai listrik hingga penerangan lampu rumah sudah mulai digunakan,” kata Eriga saat ditemui ANTARA di Gedung Distribusi PLN Jabar, Kota Bandung, pada 21 Maret 2024. Dibangun di atas Sumur BandungDi bawah bangunan ini terdapat mata air yang dikenal dengan Sumur Bandung. Menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kota ini sejak sebelum zaman kolonial Belanda datang.
Menurut legenda yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, pada tahun 1811, R.A.A Wiranatakusumah II melakukan perjalanan antara Subang dan Dayeuhkolot dengan tujuan mencari lokasi yang cocok untuk mendirikan ibukota baru.
Ketika istirahat dalam perjalanannya, Wiranatakusumah II membawa lidi dan menancapkannya ke dalam tanah untuk mencari air. Berdasarkan petunjuk dari lidi yang menunjukkan lokasi yang tepat, ia menemukan sumber air yang melimpah, yang kemudian dikenal sebagai Sumur Bandung.
Sumur Bandung sendiri diketahui memiliki tujuh titik yakni di Bank Mandiri, Masjid Cipaganti, Gedung PLN Cikapundung, dan kawasan bangunan bekas kompleks pertokoan Palaguna Alun-alun, yang kini sudah rata dengan tanah.
Khusus Sumur Bandung yang berada di Gedung PLN ini cukup terpelihara. Pasalnya, pihak PLN turut merawatnya dengan baik lewat sejumlah langkah yang dilakukan untuk menjaga kondisi bangunan maupun sumur itu sendiri agar tetap terawat dengan baik.
“Kami dari PLN itu memang selalu memiliki anggaran khusus untuk pemeliharaan gedung. Setiap tahun pasti selalu ada pemeliharaan gedung maupun keberadaan Sumur Bandung dengan merawat tanpa merusak nilai historis dari cagar budaya ini,” kata dia.
Di lokasi ini, sumur dengan diameter 150 sentimeter ini diberi penutup kuning keemasan dengan diberi keramik berwarna hitam serta rantai pembatas.
Saat ini sumur tersebut hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengambil air untuk ritual kebudayaan khususnya di wilayah Jawa Barat.
Bahkan pada tahun 2022, Gubernur Jawa Barat saat itu Ridwan Kamil ikut menyerahkan diskus dari sumber Sumur Bandung yang merupakan satu dari 27 air dan tanah Jawa Barat kepada Presiden RI Joko Widodo saat gelaran seremonial pengumpulan diskus dan tanah untuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Jadi memang beberapa aktivitas salah satunya diskus yang dibawa IKN itu asalnya salah satunya Pak Ridwan Kamil mengambil diskus dari sini. Karena memang asal-muasalnya Jawa Barat, khususnya Bandung berawal itu dari sumur itu,” kata Eriga.
PLN memastikan bahwa warisan sejarah Gedung GEBEO akan terus dijaga sebagai sebuah simbol kemajuan teknologi listrik di Tanah Priangan.
Meskipun kini seluruh ruangnnya hanya dimanfaatkan sebagai ruang rapat dan perkantoran oleh PLN Jabar, peran Gedung GEBEO tetap menjadi saksi dari masa lalu perjalanan panjang kota ini dari masa kolonial Belanda hingga era modern.
Gedung GEBEO merupakan sebuah karya seni yang hidup, tidak hanya menghadirkan keindahan visual, tetapi juga mengingatkan setiap insan akan pentingnya menjaga dan menghormati warisan bagi generasi mendatang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gedung GEBEO, simbol kemajuan teknologi listrik di Jabar