Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah menjalankan program pembinaan karakter berbasis kedisiplinan militer bagi siswa sekolah lanjutan tingkat atas yang terindikasi memiliki masalah perilaku.
Program ini berlangsung di barak militer dan diinisiasi sebagai bentuk respons terhadap persoalan kenakalan remaja yang masih menjadi tantangan serius di wilayah tersebut.
Sejak 2 Mei 2025, sebanyak 272 siswa dari 106 sekolah di Jawa Barat telah mengikuti program ini. Peserta terdiri dari siswa-siswa yang berasal dari 6 SMA, 15 SMK swasta, 53 SMA negeri, dan 32 SMK negeri.
Para siswa mengikuti pendidikan di dua lokasi utama, yaitu Barak Militer Resimen 1 Shira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Kabupaten Bandung Barat.
Kegiatan berlangsung selama 30 hari, terdiri dari dua hari masa orientasi, 14 hari pendidikan tingkat dasar, dan 14 hari pendidikan lanjutan. Durasi dan tingkat pendidikan disesuaikan dengan perkembangan capaian kompetensi perilaku masing-masing peserta.
Program ini menyasar siswa yang kerap melakukan tindakan indisipliner berat seperti tawuran, bermain gim secara berlebihan, merokok, mabuk, balapan liar, menggunakan knalpot bising, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya.
Gebrakan ala Jabar
Program yang dikenal sebagai Pendidikan Barak Militer ini merupakan bagian dari inisiatif "Panca Waluya Jawa Barat Istimewa" yang diusung oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Tujuannya adalah membentuk karakter peserta didik yang cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), pinter (cerdas), dan singer (tangguh).
"Sasarannya adalah siswa sekolah jenjang menengah atas yang terindikasi melakukan tindakan indisipliner level berat melalui berbagai indikator," ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat, dr. Siska Gerfianti.
Menurut Siska, terdapat 45 indikator kenakalan remaja yang umum terjadi dan kerap merugikan diri sendiri maupun lingkungan. Bentuknya meliputi perundungan, penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, tawuran, balapan liar, geng motor, merokok, mabuk-mabukan, hingga bolos sekolah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Open Data Jawa Barat menunjukkan bahwa jumlah kasus kenakalan remaja mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, yaitu sebanyak 12.345 kasus pada 2020, turun menjadi 11.567 kasus pada 2021, dan 10.890 kasus pada 2022.
"Memang ada penurunan jumlah kasus antara 2020 sampai dengan 2022 sebesar 12,05 persen, namun penurunan ini masih belum cukup signifikan. Kenakalan remaja di Jawa Barat ini merupakan masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak," tutur Siska.
Pendekatan ketarunaan yang digunakan dalam program ini bertujuan menanamkan nilai-nilai kebangsaan, membangun kedisiplinan, serta memperkuat integritas dan tanggung jawab sosial peserta. Meski berlokasi di barak militer, siswa tetap mendapatkan pembelajaran formal.
Masih perlu perbaikan
Selama program berlangsung, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan peninjauan ke lokasi.
KPAI menemukan beberapa catatan penting, di antaranya belum optimalnya regulasi perlindungan anak, belum adanya standar baku seperti panduan teknis dan SOP, serta ketidaktepatan sasaran peserta.
Sebanyak 6,7 persen siswa bahkan mengaku tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program ini. Selain itu, pemilihan peserta masih berdasarkan rekomendasi guru Bimbingan Konseling tanpa asesmen psikolog profesional.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menekankan pentingnya pelaksanaan program ini sesuai prinsip perlindungan hak anak.
"Program harus dijalankan dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi prinsip-prinsip dasar pemenuhan hak anak, yakni non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak," ujarnya.
Ia juga menyoroti pendekatan militer dalam pendidikan karakter yang dinilai hanya berdampak sementara jika tidak dibarengi dengan dukungan dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial yang kondusif.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menyatakan keterbukaannya terhadap program ini.
Ia menilai bahwa pendekatan militer bisa menjadi alternatif bagi orang tua yang kesulitan membina anak.
"Kita lihat nanti evaluasi dari Kang Dedi seperti apa, kita akan dukung selama itu memang menjadi cara terbaik untuk menyadarkan anak-anak kita. Karena ternyata banyak orang tua yang senang ketika anaknya dilatih, karena orang tuanya mungkin sudah tidak sanggup membina, mengasuh anak-anaknya. Jadi kita tidak bisa men-judge bahwa ini tidak baik," kata Arifah Fauzi.
Meski demikian, Kementerian PPPA tetap berkomitmen mengawal pemenuhan hak anak dalam pelaksanaan program tersebut.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, mengingatkan bahwa materi yang diajarkan dalam pendidikan harus menjadi perhatian utama.
"Enggak masalah di barak. Tapi apa materi yang diberikan di sana. Perilaku apa yang mesti diubah," ujar Rose Mini.
Ia menekankan pentingnya kesadaran moral dalam diri anak.
Pengasuhan yang baik, kata dia, tak hanya soal kedisiplinan eksternal, tetapi juga menyentuh kesadaran internal.
"Jangan anak takut karena ada yang mengawasi, tetapi dia harus tahu bahwa hal tersebut tidak boleh dia lakukan karena itu hal yang buruk," katanya.
Program pendidikan karakter berbasis barak militer di Jawa Barat ini membuka ruang diskusi luas tentang pendekatan terbaik dalam mengatasi kenakalan remaja. Terlepas dari pro dan kontra, yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pembinaan dengan tetap menghormati hak-haknya sebagai individu yang sedang bertumbuh dan berkembang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saat barak jadi sekolah, strategi Pemprov Jabar bentuk karakter remaja