Bandung (ANTARA) - Saat ini, generasi Y dan Z selalu menjadi trending topic di berbagai media. Mereka dikenal sebagai generasi yang hidup di lingkungan digital, serba cepat dan serba real time. Dibalik keunggulan teknologi yang mereka nikmati, ada jutaan tantangan yang harus mereka hadapi dan berbagai tuntutan dari society, misalnya harus segera dapat kerja, cepat sukses, harus segera menikah, memiliki anak, harus punya gelar akademik yang mentereng, kuliah di luar negeri bahkan masuk forbes 30 under 30 dan punya tesla!
Padahal, saat generasi baby boomers dan X berada di usia muda, tidak dituntut sedemikian rupa. Bahkan, mereka cenderung slow & flow saja dalam menjalani proses hidup. Tanpa disadari, tuntutan di atas bisa bikin generasi Y dan Z under-pressure dan memengaruhi kondisi mental hingga fisik mereka. Sehingga, tidak jarang, sebagian dari mereka sudah “jompo” sebelum waktunya. Hal ini dibuktikan dari hasil riset yang pernah dilakukan oleh penulis, dengan melihat isi tas dari generasi Y dan Z.
Umumnya, isi tas mereka berisi alat elektronik (laptop, tablet, handphone), buku, alat tulis, alat makan dan minum, alat make-up dan lain sebagainya.
Akan tetapi, ketika penulis melakukan pengecekan yang disetujui oleh mereka, penulis melihat isi di dalam tas mereka yang berisi alat-alat P3K atau alat-alat untuk mencegah COVID-19, seperti handsanitizer, masker, sabun cuci tangan, tissue kering, tissue basah, bahkan face shield dan dilengkapi juga dengan obat-obatan, misalnya obat untuk sakit magh, obat untuk sakit kepala, obat sakit perut, obat vertigo, obat pegal linu, obat demam, batuk dan pilek hingga vitamin dan suplemen.
Fenomena unik tersebut, justru memunculkan berbagai asumsi dari penulis. Hal ini dikarenakan, informasi kesehatan di media online atau offline bisa saja membuat mereka menjadi lebih well-informed untuk urusan kesehatan. Selain itu, mereka menjadi lebih mudah cemas saat melihat, mendengar dan merespon informasi kesehatan. Bahkan, bisa disebabkan oleh situasi pandemic COVID-19 kemarin, sehingga mereka sangat responsif terhadap berbagai macam penyakit.
Ternyata, asumsi ini pun memunculkan rasa ingin tahu penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut, melalui proses wawancara dan penyebaran kuesioner. Penulis mewawancarai 100 orang dari generasi Y dan Z serta kuesioner telah diisi oleh 111 orang dari generasi Z dan 11 orang dari generasi Y. Karakteristik dari responden adalah 62 orang dari mereka memiliki pendidikan terakhir S1, lalu 52 orang selanjutnya memiliki pendidikan terakhir SMA dan selebihnya ada yang pendidikan terakhirnya SMP, D3, S2. Mayoritas pekerjaan mereka adalah mahasiswa, karyawan swasta, ibu rumah tangga, freelancer dan lain-lain.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian dari generasi Y dan Z yang membawa peralatan kesehatan itu, adalah mereka yang memang sudah terindikasi atau didiagnosa oleh dokter terkena penyakit tertentu, seperti maag akut, gerd, vertigo, dan ada satu diantara dari mereka yang pernah terkena COVID-19 varian delta 1 kali dan varian omicron 2 kali, sehingga, ia rentan terkena penyakit serupa dan jenis lainnya.
Fakta lain juga menunjukkan, kalau mereka lebih vulnerable terhadap berbagai penyakit. Sehingga, labelling mereka sebagai generasi jompo terbukti benar. Hal ini dibuktikkan dengan obat-obatan yang rutin mereka konsumsi, yang seharusnya memang dikonsumsi oleh generasi X dan baby boomers, karena sudah mengalami penurunan fungsi organ tubuh.
Saat penulis mewawancarai satu diantara generasi Z dan ia menceritakan pengalamannya yang pernah ketinggalan fresh care yang berfungsi untuk meredakan nyeri. Dengan segera, ia membelinya ke toko terdekat, karena adanya rasa ketergantungan. Menurut penulis atau sebagian dari pembaca, mungkin sikap ini tampak berlebihan. Walaupun, bisa saja disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti suggesti atau adanya perasaan tenang saat membawa fresh care. Dengan begitu, hal tersebut dapat menggambarkan dan mengindikasikan kalau ia sudah jompo.