Bandung (ANTARA) - Gempa Bumi berkekuatan M 5,6 yang melanda pada tangga 21 November 2022, pukul 13.21 WIB, di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kembali menyadarkan semua pihak akan pentingnya mitigasi bencana.
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko atau pencegahan bencana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Gempa Bumi tektonik yang melanda Kabupaten Cianjur menimbulkan daya rusak luar biasa.
Data BNPB menyebutkan hingga Kamis korban meninggal akibat gempa Cianjur mencapai 272 jiwa dan kerusakan infrastruktur seperti rumah total berjumlah 22.198 unit.
Besarnya korban jiwa, baik meninggal maupun luka, serta kerusakan rumah dan infrastruktur tersebut menunjukkan belum maksimalnya mitigasi bencana di wilayah tersebut.
Banyaknya rumah warga yang rusak menunjukkan bahwa hunian warga dibangun dengan tidak memperhatikan kaidah ketahanan gempa seperti yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Selain itu, pascagempa banyak warga yang harus mengungsi di tempat yang tidak laik ditinggali seperti warga Desa Gasol, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Warga yang menjadi korban gempa di Kabupaten Cianjur ada yang mengungsi ke kolam lele.
Bahkan, warga di Kampung Cina Cugenang, Cianjur, terpaksa mengungsi di lahan kuburan karena tidak ada lahan kosong untuk dijadikan tempat pengungsian.
Belum tersedianya lokasi pengungsian secara permanen untuk menampung pengungsi ketika terjadi bencana, menunjukkan bahwa mitigasi gempa Bumi di Kabupaten Cianjur, belum terencana dengan matang.
Melansir laman BPBD Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ada sejumlah tindakan mitigasi bencana sebelum gempa Bumi terjadi, yakni mendirikan bangunan sesuai aturan baku (tahan gempa) dan mengenali lokasi bangunan tempat tinggal penduduk.
Kemudian menempatkan perabot pada tempat yang proporsional, siapkan peralatan seperti senter, P3K, makanan instan, memeriksa penggunaan listrik dan gas, catat nomor telepon penting, hingga mengenali jalur evakuasi.
Tugas sosialisasi mitigasi bencana tersebut bisa dilakukan dari tingkatan paling bawah, yakni di lingkup keluarga dan RT/RW.
Menyikapi gempa Bumi di Kabupaten Cianjur, pakar gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan kepedulian utama berada pada Pemerintah Pusat, provinsi, dan pemda.
Harus ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa.
Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta memperhatikan betul jarak dari sumber gempa.
Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan.
Ketika bencana telah terjadi, menurut dia, terdapat waktu terpenting atau golden time untuk evakuasi yang hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa Bumi.
Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik.
Indonesia harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan golden time ini.
Oleh karena itu, rumah sakit darurat, lokasi pengungsian sementara, air, dan sanitasi yang baik, harus mulai dipersiapkan sekarang.
Jika hanya fokus pada yang terluka, lantas mengesampingkan hal-hal vital yang harus dipersiapkan, maka orang yang selamat pun dapat menjadi korban selanjutnya.
Selain itu, pemerintah harus memberi perhatian besar terhadap sesar aktif di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan bencana.
Hal itu perlu dilakukan mengingat temuan para peneliti menunjukkan banyak sesar aktif melintasi kawasan berpenduduk padat di Jawa.
Contohnya ada Sesar Lembang yang berada sekitar 10 kilometer utara Bandung dengan panjang sesar yang terpetakan mencapai 22 kilometer.
Literasi kegempaan di Tanah Air masih menyisakan pekerjaan rumah yang panjang ihwal menyelidiki sejarahnya.
Akan tetapi, ada juga yang mesti dibangun yakni pengamanan masyarakat yang dinilai masih lemah.
Peristiwa gempa tektonik Cianjur bisa menjadi momentum untuk memulai menerapkan pola mitigasi secara holistik.
Pascagempa
Pascagempa Cianjur ada sejumlah hal penting yang harus disiapkan oleh pihak terkait seperti pemda.
Salah satunya ialah membangun kembali rumah atau hunian warga yang rusak dengan bangunan yang tahan gempa atau di kawasan yang lebih minim dampak guncangan.
Untuk melaksanakan itu, perlu dilakukan kajian yang mendalam.
Apabila dibangun di tempat yang sama, harus dipastikan tempat yang sama itu tidak berada di wilayah di mana sesar itu mungkin jadi sumber gempa lagi.
“Jangan sampai baru dibangun, lalu beberapa puluh tahun kemudian rusak lagi dengan gempa berkekuatan sama,” kata Irwan.
Namun untuk bangunan yang berada di jalur sesar gempa, penting untuk merelokasi pembangunannya karena pada area ini struktur bangunan yang baik pun tidak cukup untuk menahan guncangan gempa.
Cetak biru
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun lalu sebenarnya sudah menyiapkan cetak biru Jabar sebagai provinsi berbudaya tangguh bencana (resilience culture province).
Gagasan ini akan ditanamkan kepada seluruh warga melalui pendidikan sekolah sejak dini hingga pelatihan.
Gubernur Jawa Barat M. Ridwan Kamil menyebut gagasan ini adalah sebuah upaya menanamkan budaya sadar bencana seperti di Jepang.
Pada cetak biru itu, semua pihak harus siap menghadapi kebencanaan lingkungan melalui pendekatan multidimensi, termasuk pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah.
Cetak biru Jabar sebagai provinsi berbudaya tangguh bencana dipaparkan Kang Emil dalam forum Indonesia-Japan Environmental Week pada akhir tahun 2021.
Cetak biru kebencanaan mendesak untuk direalisasikan agar bisa meminimalisasi dampak dari bencana alam, seperti gempa yang tidak bisa diprediksi kapan terjadi.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Urgensi mitigasi bencana di Jabar