Karena tidak mungkin menyebutkan nama seluruhnya, maka yang dicantumkan dalam Keppres itu hanya pemimpin tertinggi atau perwakilan yang merepresentasikan masing-masing institusi seperti nama Panglima Besar Jenderal Soedirman, Letkol Soeharto, Soekarno, Hatta, serta Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Margana mengatakan bahwa Serangan Umum 1 Maret merupakan penguat kedaulatan Indonesia di dunia internasional dari sisi militer.
Sedangkan kedaulatan negara secara politik terus diperkuat melalui berbagai upaya diplomasi oleh Soekarno, Hatta, serta sejumlah petinggi lainnya meski dalam pengasingan di Menumbing di Pulau Bangka.
Meski di penjara, mereka tetap berjuang melalui diplomasi yang disebut dengan "counter propaganda" karena kala itu Diplomat Belanda Van Royen terus meluncurkan informasi keliru di dunia internasional mengenai eksistensi Indonesia.
Melalui Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices), Hatta dan Mohammad Roem mengirim tulisan setebal 54 untuk Dewa Keamanan PBB yang isinya meyakinkan bahwa Indonesia tidak seperti yang dibicarakan Belanda.
Namun demikian, kata Margana, diplomasi itu memerlukan dukungan militer karena untuk menunjukkan eksistensi Indonesia tidak hanya secara politik, tapi juga harus dibuktikan secara militer.
"Kemudian di Yogyakarta pun bergerak Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan melancarkan ide-ide mengenai Serangan Umum 1 Maret," tuturnya.
Kata Margana, HB IX yang kala itu menjabat Menteri Pertahanan RI kemudian memanggil Soeharto yang kala itu berpangkat letkol, untuk membicarakan rencana Serangan Umum 1 Maret.
"Sultan ini yang menginisiasi Serangan Umum 1 Maret, kemudian Sultan HB IX juga yang memanggil Letkol Soeharto untuk bertemu membicarakan itu," ujar Margana.