Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo melanjutkan menimba ilmu ke Mekkah untuk belajar banyak ke mualim para pengarang kitab di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki.
Sepulang dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa, salah satunya Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy'ari.
Keilmuan Mama Cibogo diakui oleh KH Hasyim Asy'ari bahkan ketika ia ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kyai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena memiliki murid secerdas KH Raden Ma'mun Nawawi yang kelak diyakini menjadi seorang ulama ahli falak dan tafsir.
Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama Cibogo menekuni ilmu falak ke Jembatan Lima, dibimbing langsung oleh Guru Mansur yang kemudian menganggapnya sebagai murid paling cerdas hingga mengangkatnya satu level di atas teman-teman santri sebayanya.
Ia juga sempat belajar ke ulama Betawi lainnya seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang sebelum akhirnya menikahi putri Mama Sempur dan mendirikan sebuah pesantren di Pandeglang. Tak lama di sana, ia diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo, Cibarusah.
Dia lantas mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo pada 1938 yang kemudian menjadi tempat berlatih Laskar Hizbullah pada Februari 1945. Banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah untuk belajar ke Al-Baqiyatus Sholihat setelah pesantren ini didirikan.
Mama Cibogo sehari-hari fokus di pesantren. Banyak pengajian yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja. Setiap Selasa pagi dibuka pengajian bagi ustadz atau kyai kampung. Rabu untuk orang-orang lanjut usia, Jumat pagi untuk kalangan ibu, dan Ahad untuk umum.
Mama Cibogo, laskar pejuang 'yang terlupakan' dari Bekasi
Senin, 21 Februari 2022 11:25 WIB