Bandung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah menyusun kajian risiko bencana dan peta rawan bencana sampai tingkat desa guna memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan kondisi kebencanaan.
"Hal itu dilakukan agar masyarakat memahami kondisi kebencanaan di lingkungannya. Pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk tetap waspada amat krusial," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat Dani Ramdan di Bandung, Selasa.
Peta rawan bencana di Jabar itu meliputi semua jenis potensi kebencanaan, seperti banjir, longsor, gempa bumi, dan tsunami.
Dari 27 kabupaten/kota, 14 daerah masuk kategori risiko bencana tinggi dan 13 daerah berisiko bencana sedang. Tidak ada daerah di Jabar yang masuk kategori risiko bencana rendah.
"Hanya gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadi. Tapi kalau banjir, kita lihat dari kondisi alam termasuk banjir rob karena air laut yang naik, sedangkan tsunami dan gempa tidak bisa diprediksi," kata Dani.
Setelah peta rawan bencana disusun, katanya, langkah selanjutnya menyusun rencana penanggulangan bencana (RPB) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Dari RPB itu, rencana kontingensi jenis kebencanaan setiap kabupaten/kota dapat disusun.
Berdasarkan kajian risiko dan peta rawan bencana itu, katanya, pemerintah desa bisa menyusun, misalnya jalur evakuasi manakala situasinya berpotensi bencana, tempat evakuasi atau pengungsian, kesiapan personel dan peralatan penanganan bencana.
"Ada yang bisa kita cegah, ada yang tidak bisa, seperti gempa. Tapi, kalau kita punya kesiapsiagaan, paling tidak bisa meminimalisasi dampak atau risiko," katanya.
Mutlak
Ia menjelaskan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat akan potensi bencana menjadi kebutuhan mutlak. Selain untuk mencegah terjadi bencana, dua hal tersebut dapat meminimalisasi potensi korban meninggal dunia dan kerugian harta benda.
Jika masyarakat sadar potensi bencana di lingkungan sekitarnya, katanya, mereka dapat melakukan mitigasi bencana, seperti rutin memeriksa dan membersihkan saluran-saluran air supaya tidak tersumbat sampah atau material lainnya, memeriksa tebing-tebing terkait dengan vegetasi atau tembok penahan tanah.
Jika terjadi retakan di tanah atau di tembok penahan tersebut apalagi ada aliran air yang merembes, hal itu tanda bahwa bisa terjadi potensi longsor.
Dalam kondisi demikian, khususnya ketika terjadi hujan lebat, katanya, masyarakat yang bermukim di sekitar tebing seperti itu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman.
Selain itu, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, jika tinggi muka air sungai sudah mencapai level membahayakan, katanya, segera melakukan evakuasi ke tempat lebih tinggi.
Dani menjelaskan dalam periode "golden time" yakni 0-30 menit saat terjadi bencana, 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang terbentuk karena pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan melakukan evakuasi, sedangkan 31 persen lain bersumber dari pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang juga memiliki pengetahuan dan rencana kontigensi yang dilatihkan jika terjadi bencana.
Ia menyebut 17 persen faktor keselamatan lainnya bersumber dari pertolongan komunitas, seperti tetangga se-RT/RW atau rekan sekantor/pabrik.
"Peran BPBD, tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat 'golden time' mereka tidak berada persis di tempat bencana," katanya.
Ia menyebut pentingnya kesiagaan individu, keluarga, dan komunitas dalam menghadapi potensi bencana alam.
"Kesiapsagaan individu, keluarga, dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana," katanya.
Baca juga: IPB sebut mitigasi bencana mulai penyediaan peta bencana skala operasional
Baca juga: Daerah rawan banjir dan tanah longsor di Kabupaten Cirebon sudah dipetakan
Baca juga: Peta potensi likuifaksi di daerah minimalkan dampak bencana
Pemprov Jabar susun peta rawan bencana hingga level desa
Selasa, 19 Januari 2021 17:01 WIB