Sukamakmur, Bogor (ANTARA) - Pengelola Curug Ciherang di Jalur Puncak II Bogor Provinsi Jawa Barat mengedepankan program pemerintah, yakni adaptasi kebiasaan baru (AKB) sehingga layak jadi alternatif di tengah kekhawatiran masyarakat berwisata saat pandemi COVID-19.
"Protokol kesehatan kita jalankan, 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) semua ada berdasarkan aturan pemerintah," ungkap Pengelola Wisata Curug Ciherang, Yudo Pianto saat ditemui wartawan, Minggu.
Selain harus menerapkan 3M, pengunjung akan diperiksa suhu tubuhnya terlebih dahulu di gerbang utama. Jika suhunya lebih dari 75 derajat, maka pengunjung tidak diperkenankan masuk.
Yudo menjamin, meski banyak dikunjungi wisatawan, tapi di tempat wisata yang terletak di Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor itu tidak akan terjadi kerumunan. Pasalnya, lokasi Wisata Curug Ciherang memiliki lahan yang cukup luas, yaitu 73 hektare.
Terlebih, setiap wahana yang ada di lokasi wisata tersebut berkonsep luar ruangan. Mulai dari resto dengan pemandangan di atas bukit, hingga tempat-tempat berswafoto dengan latar mural menarik.
Terdapat kolam renang dengan berbagai ornamen menarik seperti replika kapal dan ufo di dekat resto, tapi belum bisa digunakan karena aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) belum mengizinkan wisata kolam air.
Wahana andalannya yaitu rumah pohon yang dilengkapi dengan jembatan gantung. Yudo menganggap wahana tersebut pamungkas lantaran sempat viral di berbagai akun media sosial ulasan wisata.
Kemudian, terdapat dua air terjun bernama Ciherang dan Ciguntur. Keduanya perlu diakses dari tempat parkir kendaraan dengan berjalan kaki, layaknya menelusuri jalur pendakian karena lokasinya berada di atas bukit.
Tak hanya itu, di antara penginapan-penginapan yang tersedia untuk pengunjung, terdapat bangunan sederhana yang merupakan patilasan Prabu Siliwangi yang kerap dijadikan sebagai wisata sejarah.
Pengunjung hanya perlu membayar Rp40 ribu per orangnya untuk bisa mengakses semua wahana yang ada di wisata Curug Ciherang Sukamakmur.
Yudo mengklaim bahwa wisata yang ia kelola merupakan pelopor di Jalur Puncak II. Pasalnya, sejak berdirinya pada tahun 2011, belum ada tempat wisata lain, karena saat itu tidak didukung infrastruktur akses jalan yang mumpuni.
"Saya membangun wisata ini sudah hampir 10 tahun, jalanan belum ada. Kita mulai 2011 sampai sekarang. Tingkat kesulitannya banyak sekali," tuturnya.
Ia berharap agar jumlah pengunjung kembali normal setelah merosot drastis sejak awal pandemi COVID-19.
Menurutnya, kini jumlah pengunjung berangsur pulih seiring program AKB dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor.
Baca juga: Program "digital tourism" siap diterapkan di Garut untuk kenyamanan berwisata
Baca juga: Garut kembangkan desa wisata di jalur reaktivasi kereta api