Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia sudah menyerap surat berharga negara (SBN) di pasar perdana senilai Rp234,65 triliun baik melalui mekanisme pasar sebesar Rp51,17 triliun maupun secara langsung sebesar Rp183,48 triliun hingga 24 September 2020.
"Total untuk pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk SKB pertama dan kedua, kami telah membeli SBN Rp234,65 triliun,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Menurut dia, pembelian SBN melalui mekanisme pasar tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama antara BI dan Kementerian Keuangan (SKB) pertama pada 16 April 2020.
Sedangkan, pembelian SBN secara langsung itu sesuai dengan kesepakatan bersama antara BI dan Kementerian Keuangan (SKB) kedua pada 7 Juli 2020.
Gubernur BI menjelaskan realisasi pembelian SBN sesuai SKB pertama itu masih di bawah 10 persen yang artinya pasar masih mampu menyerap SBN pemerintah itu karena bank sentral ini posisinya sebagai pembeli siaga.
"Kami juga akan melihat bagaimana dampaknya terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi. Memang betul sekarang inflasi sangat rendah hingga mungkin awal tahun depan sehingga masalah pendanaan BI untuk APBN bisa terus dilakukan," katanya.
Apabila inflasi meningkat tahun mendatang, lanjut dia, akan ada skenario lanjutan yang sedang dibahas salah satunya melalui penggeseran kelebihan likuiditas di perbankan ke APBN dengan memantau perkembangan.
Untuk pembelian SBN sesuai SKB kedua sebesar Rp183,48 triliun itu, lanjut dia, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan publik atau public goods yakni dana dan bebannya semua berasal dari BI sehingga pemerintah tidak ada beban.
"Pemerintah menanggung reverse repo tiga bulan dikurangi satu persen. Sekarang kurang lebih 2,7 persen, sisanya selisih antara yield SBN dengan 2,7 persen, itu bebannya BI,” katanya.
Untuk skema pembelian SBN secara langsung sesuai SKB 7 Juli 2020 itu, lanjut dia, dijadwalkan hanya berlaku hingga 2020.
Sedangkan pembelian SBN di pasar perdana sesuai SKB 16 April 2020 diperkirakan masih bisa berlaku sampai 2021-2022 sesuai UU Nomor 2 Tahun 2020, BI menjadi pembeli siaga sampai 25 persen dari jumlah lelang pemerintah.
"Sehingga. pemerintah bisa lebih fokus masalah percepatan realisasi APBN karena masalah pendanaan dan juga bebannya, BI juga ikut menanggung," katanya.
Baca juga: BI Jabar dan ISEI bentuk "West Java Economic Society"
Baca juga: BI Cirebon catat transaksi digital terus naik di tengah pandemi corona