Jakarta (ANTARA) - Replika Tembok Besar di Taman Ekologi Xixiaguaishiling, Kota Nanchang, yang dibangun dengan biaya sebesar 100 juta yuan atau sekitar Rp216,5 miliar memicu perdebatan sengit antarwarganet di China.
"Tembok Besar Palsu" seperti nama yang disematkan para wisatawan, situs tiruan di Ibu Kota Provinsi Jiangxi tersebut berupa jalan setapak yang membentang sepanjang 4 kilometer di atas perbukitan dengan dilengkapi menara pengawas persis seperti aslinya di Beijing.
"Membuang-buang uang saja untuk benda tiruan buruk itu. Kita sudah punya Tembok Besar," demikian komentar seorang warganet yang menamakan dirinya, Niu, Rabu.
"Berapa Tembok Besar di pelosok negeri ini yang benar-benar peninggalan purbakala? Apakah kalian tahu Tembok Besar di China itulah sejarah yang sebenarnya? Apa yang ada di Nanchang memudahkan masyarakat setempat merasakan pengalaman Tembok Besar tanpa harus meninggalkan kotanya," timpal Xiaolizi, warganet lainnya.
Bahkan beberapa netizen lainnya mengkhawatirkan pembangunan replika tersebut merusak ekologi.
"Ini akan merusak ekologi dan berdampak pada satwa liar di sekitarnya," komentar netizen Chaishenjie.
"Tembok Besar Palsu" itu dibangun untuk mencegah kebakaran hutan, demikian Yu selaku penanggung jawab pemasaran objek wisata tersebut.
"Sekitar 70 persen area hutan. Untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan, kami putuskan membangun pagar pembatas kebakaran hutan itu menyerupai Tembok Besar," kata Yu dikutip media resmi setempat.
Ia menyebutkan pembangunan "Tembok Besar Palsu" dimulai pada 2013 dan rampung pada 2018 dengan menghabiskan biaya 100 juta yuan.
"Kami tidak pernah mempromosikan bangunan ini sebagai Tembok Besar. Nama itu keluar dari mulut para wisatawan. Sebagian besar wisatawan tertarik karena mereka sangat menikmatinya tanpa harus ke Beijing," ujar Yu.
Memang Tembok Besar di Beijing selalu dipadati pengunjung sehingga sebagian besar merasa kurang nyaman menyusuri peninggalan bersejarah tersebut.
Baca juga: Objek wisata Tembok Besar China dibuka kembali
Tembok Besar Palsu senilai Rp216 miliar picu perdebatan di China
Kamis, 10 September 2020 5:32 WIB