Jakarta (ANTARA) - Dalam sepekan terakhir, jika kita datang pada malam hari, suasana keramaian di Kota Bogor, Jawa Barat tampak meredup atau tidak seramai hari-hari sebelumnya.
Agak lengang, begitulah bila hari selepas Maghrib kondisi di "Kota Hujan" yang menjadi "hinterland" (penyangga) Ibu Kota Negara Jakarta itu.
Apa penyebabnya? Karena, selama dua pekan ke depan, terhitung mulai Sabtu (29/8) lalu hingga Jumat (11/9) mendatang Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor memberlakukan "jam malam".
"Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Kota Bogor berdasarkan hasil musyawarah, telah memutuskan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Mikro dan Komunitas (PSBMK) selama dua pekan, mulai Sabtu (29/8)," kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto di Balai Kota Bogor, Jumat (28/8).
Penerapan PSBMK itu, termasuk pemberlakuan "jam malam" dan pembatasan aktivitas warga di 104 rukun warga (RW) yang masuk zona merah penyebaran COVID-19 di Kota Bogor.
Forkopimda memutuskan memberlakuan PSBMK di tingkat RW di zona merah COVID-19 karena berdasarkan data saat ini, ada 194 di antara 797 RW di Kota Bogor yang masuk zona merah.
Secara khusus, ia menyebut penularan COVID-19 dari klaster keluarga berada di peringkat tertinggi dibandingkan dengan penyebab lainnya sehingga sangat mengkhawatirkan.
Alasannya, karena keluarga adalah lingkungan terkecil di masyarakat dan anggota keluarga saling kontak erat dan tren penularannya terus meningkat.
Ada 48 keluarga menjadi klaster dengan total jumlah anggota terkonfirmasi positif COVID-19 ada 189 orang.
"Akumulasi kasus positif COVID-19 di Kota Bogor seluruhnya ada 553 orang, sehingga persentase kasus positif COVID-19 di klaster keluarga ada 34,17 persen," katanya.
Dari 189 anggota keluarga yang terpapar positif COVID-19 sebagian besar adalah lanjut usia (lansia) dan anak-anak.
Dengan kondisi itu, ia mengingatkan warga Kota Bogor kategori lansia menghindari potensi penularan COVID-19. Mereka diminta tetap berada di rumah dan tidak beraktivitas di luar rumah jika tidak penting.
Oleh karena itu, guna menekan terus meningkatnya penularan COVID-19, Pemerintah Kota Bogor menerapkan PSBMK.
Wali Kota Bima Arya Sugiarto menambahkan pemberlakuan "jam malam" di daerah itu bukan melarang total seluruh aktivitas masyarakat di atas pukul 21.00 WIB, tetapi melarang warga berkerumun, termasuk orang-orang yang nongkrong selepas waktu tersebut langsung dibubarkan.
Kondisi di Kota Bogor itu juga bisa diakses melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19 laman www.covid19.go.id yang merilis perkembangan terkini peta risiko penyebarannya.
Satgas melalui laman tersebut menyatakan Kota Bogor masuk zona merah atau risiko tinggi, di mana perubahan stasus zonasi Kota Bogor yang sebelumnya zona oranye atau risiko sedang itu dihitung berdasarkan indikator-indikator kesehatan masyarakat dengan menggunakan skoring dan pembobotan.
Kawasan Tetangga
Hampir bersamaan, tetangga "hinterland" Jakarta lainnya, yakni Kota Depok, juga melakukan kebijakan yang sama, yakni pemberlakuan "jam malam".
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Kota Depok Dadang Wihana dalam keterangan pers pada Senin (31/8) menyatakan Pemerintah Kota Depok pada Senin mulai menerapkan aturan mengenai "jam malam" untuk membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah dalam upaya menekan risiko penularan COVID-19.
Pemberlakuan aturan mengenai "jam malam", bagian dari upaya Pemerintah Kota Depok mengendalikan penularan COVID-19.
Pemerintah kota setempat juga mengoptimalkan peran "Kampung Siaga" COVID-19 dalam mendata dan mengawasi pendatang, menegakkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19, serta memastikan pembatasan sosial "Kampung Siaga" berbasis lingkungan RW itu berjalan.
Namun, pada Kamis (3/9), Dadang Wihana "meluruskan" pernyataan sebelumnya, yakni yang diberlakukan adalah bukan "jam malam", namun kebijakan Pembatasan Aktivitas Warga (PAW).
"Perlu diluruskan kebijakan yang diterapkan bukan 'jam malam' tetapi PAW, jadi seluruh aktivitas sosial warga dibatasi pada jam tertentu," katanya menanggapi pemberitaan sejumlah media yang menyebutkan adanya "jam malam" di Depok.
Dalam kebijakan itu, aktivitas sosial masyarakat yang dibatasi hingga pukul 20.00 WIB sesuai Surat Edaran (SE) Nomor: 443/408-Huk/GT tentang Peningkatan Pencegahan dan Penanganan COVID-19 di Kota Depok yang diterbitkan 31 Agustus 2020.
Selain itu, berlaku pada aktivitas para pelaku usaha toko, rumah makan, kafe, minimarket, supermarket dan mal dengan jam operasional hingga pukul 18.00 WIB, lalu bagi layanan pesan antar hingga pukul 20.00 WIB.
Kondisi berbeda dengan yang ada di Kota Bogoro dan Kota Depok terjadi di kawasan tetangga lainnya, yakni Kabupaten Bogor.
Dengan pertimbangan "alasan ekonomi", Bupati Bogor Ade Yasin menyatakan belum berkeinginan menerapkan "jam malam", seperti beberapa daerah tetangganya itu.
"Belum (akan menerapkan, red.), mudah-mudahan (kasus COVID-19, red.) masih terkendali karena kasihan juga bila ada 'jam malam' kepada yang kerja," katanya usai rapat koordinasi daya serap anggaran penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi di kantor Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda), Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (31/8).
Alasan lainnya tidak memberlakukan "jam malam", yaitu hingga kini Kabupaten Bogor masih berstatus zona kuning penularan COVID-19, tidak seperti Kota Bogor yang ditetapkan berstatus zona merah oleh Pemerintah Provinsi Jabar.
Hingga kini Kabupaten Bogor masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pra-adaptasi kebiasaan baru (AKB) hingga 10 November 2020 dan segala aturan yang diterapkan mengacu pada Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 52 tentang PSBB pra-AKB.
Ia mengaku bukan tidak mungkin GTPP COVID-19 Jawa Barat juga menetapkan Kabupaten Bogor sebagai wilayah zona merah penularan COVID-19, terlebih Kabupaten Bogor memiliki daerah yang cukup luas dan banyak titik perbatasan langsung dengan daerah lain.
Oleh karena itu, agar Kabupaten Bogor terhindar dari zona merah penularan COVID-19 seperti status yang disandang tetangganya, Kota Bogor, Ade Yasin mengaku mengandalkan Program "Kampung Aman".
Program "Kampung Aman COVID-19", disebutnya memiliki banyak fungsi, seperti program ketahanan pangan dan menyaring orang-orang yang baru atau tidak dikenal masuk kampung atau desa tersebut.
"Camat sebagai pimpinan tertinggi di wilayah, harus terus mengampanyekan 'Kampung Aman atau Desa Aman COVID-19' di wilayah masing-masing. Karena Kabupaten Bogor memang belum benar-benar aman dari virus corona ini," katanya.
Sedangkan di Kota Bekasi yang juga menjadi zona merah COVID-19 juga memberlakukan kebijakan perpanjangan PSBB atau Adaptasi Tatanan Hidup Baru (ATHB) selama sebulan ke depan.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menjelaskan perpanjangan PSBB-ATHB diberlakukan hingga 2 Oktober mendatang, sesuai perintah Gubernur Jabar.
Ia mengatakan ketentuan perpanjangan PSBB tersebut tertuang dalam Keputusan Wali Kota Bekasi Nomor: 300/Kep.461-BPBD/IX/2020 yang telah ditandatangani pada Selasa (1/9).
Bisa ditiru
Kebijakan yang dilakukan di Kota Bogor dan Kota Depok, yang memberlakukan "jam malam" guna menekan penularan dan penyebaran COVID-19 itu mendapat apresiasi dari Satgas Penanganan COVID-19.
Melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (3/9), Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyatakan pemerintah daerah lain bisa meniru kesigapan Pemkot Bogor dan Depok yang menerapkan "jam malam" untuk menekan laju penularan COVID-19.
"Kami mengapresiasi Pemerintah Depok dan Bogor yang dengan cepat mengambil langkah dengan menerapkan 'jam malam' di wilayahnya karena penularan yang tinggi," katanya.
Ia mengatakan hal semacam itu yang harus dilakukan oleh pemda sebagai satgas di tingkat kabupaten, kota, atau provinsi, yakni segera mengambil langkah cepat agar kondisi terkendali, yakni bila saat membuka suatu kegiatan sosial dan ekonomi melalui melalui tahapan prakondisi, waktu, prioritas, koordinasi dengan pusat, dan melakukan evaluasi dan monitoring.
Hal tersebut cara tepat mencari solusi untuk menekan kasus di daerah.
Ahli kesehatan dr Andreas Harry, Sp.S (K) yang terlibat bersama sukarelawan dalam penggalangan bantuan untuk perbaikan gizi bagi tenaga kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet, menyatakan kebijakan pemberlakuan "jam malam" semacam itu tentu bertujuan baik, guna menekan laju penyebaran COVID-19.
Namun, ia juga melihat bahwa sepanjang pandemi saat ini kasusnya akan tetap dalam kondisi naik dan turun, dan hal itu tidak saja terjadi malam hari.
"Masih akan bermunculan terus kasus baru, Jadi, bukan sekadar 'jam malam' karena pada siang hari bisa lebih berbahaya karena lebih banyak yang tanpa masker, bahkan di sarana transportasi publik," kata neurolog anggota anggota International Society to Advance Alzheimer Research and Treatment (ISTART) itu.
Apalagi, katanya, jika protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun atau cairan pembersih tangan tidak dilakukan dengan disiplin, sehingga kebijakan yang tujuannya baik dan positif itu menjadi tidak efektif.
"Substansinya di 3M protokol kesehatan itu, sehingga nyambung dengan kebijakan yang dikeluarkan," katanya.
Dengan tujuan baik untuk menekan laju dan penularan COVID-19 yang masih terjadi, agaknya terminologi "jam malam" semestinya tidak perlu dipahami dengan menakutkan.
Akan tetapi, justru menjadi pengingat bahwa COVID-19 memang masih menjadi ancaman, dan hal itu butuh perhatian serta kerja sama semua elemen bangsa untuk menyadari bersama.
Baca juga: Satgas COVID-19 dukung Pemkot Depok dan Bogor terapkan jam malam
Baca juga: Satgas apresiasi pemerintah Depok dan Bogor terapkan jam malam cegah COVID-19
Baca juga: Satpol PP Kota Depok sosialisasi pembatasan aktivitas warga malam hari
Artikel - Pemberlakuan "jam malam" di "hinterland" Ibu Kota
Jumat, 4 September 2020 16:35 WIB