Jakarta (Antaranews Jabar) - Australia tidak seharusnya mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel yang sebelumnya adalah Tel Aviv.
"Pesan yang harus disampaikan oleh Indonesia kepada Australia adalah tidak seharusnya Australia menyetujui tindakan Israel untuk menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota negaranya yang sebelumnya adalah Tel Aviv," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan PM Australia Scott Morrison menyatakan bahwa Australia akan mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel, namun tidak akan segera memindahkan Kedubesnya dalam waktu dekat.
"Pernyataan ini hendak mengesankan seolah ada pergeseran dari kebijakan sebelumnya yang hendak memindahkan kedutaan besar Australia dari Tel Aviv ke Yerusalem," kata Hikmahanto.
Apa yang dilakukan oleh Morisson, lanjut dia, kemungkinan besar mengamankan posisi Morisson dimata konstituennya, namun pada saat bersamaan di mata Indonesia.
Perlu diketahui Indonesia tidak menyetujui rencana Australia memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, ujar dia.
"Ketidak-setujuan Indonesia diwujudkan dengan memanfaatkan daya tekan untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan yang seharusnya dilakukan bulan Desember ini," ungkap Hikmahanto.
Ia menjelaskan pernyataan Morisson untuk membedakan Yerusalem Barat dan Timur karena Yerusalem Timur adalah wilayah di mana kota suci tiga agama berada. Sementara Yerusalem Barat adalah wilayah yang dijadikan Ibu Kota oleh Israel.
Dengan demikian Morisson seolah ingin menyampaikan pesan bahwa Australia tetap menghormati resolusi PBB dan sikap Indonesia yang menyatakan kota suci tiga agama tetap merupakan wilayah yang berada dibawah PBB.
"Taktik politik Morisson tentunya harus disikapi oleh Indonesia dengan tidak mengubah kebijakan untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan," ucapnya.
Indonesia harus tetap pada pendirian bahwa Yerusalem adalah Yerusalem terlepas ada pembagian di dalamnya antara Barat dan Timur, tegas Hikmahanto.