Bandung (ANTARA) - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengambil langkah memprioritaskan faktor risiko bencana di atas izin administratif dalam kebijakan tata ruang terbaru, guna mengakhiri tumpang tindih lahan yang selama ini menghantui kelestarian hutan dan ketahanan pangan di Tanah Pasundan.
Dedi menegaskan bahwa kebijakan tata ruang yang disebut Penataan Ruang Induk itu di tingkat provinsi, mulai 2026 akan menjadi acuan tunggal dan bersifat mengikat bagi seluruh 27 kabupaten/kota. Langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada lagi celah negosiasi terhadap ruang-ruang konservasi.
"Orientasi utama tata ruang Jawa Barat adalah melindungi kawasan hutan, area persawahan, serta sumber air seperti rawa, daerah aliran sungai, dan kawasan resapan," ujar Dedi selepas Rapat Koordinasi Tata Ruang dan Pertanahan di Gedung Sate, Bandung, Kamis.
Dedi menekankan pemerintah daerah tidak boleh lagi berlindung di balik aturan formal jika secara faktual pembangunan di suatu lokasi berpotensi mengundang bencana bagi masyarakat.
"Jika aturannya membolehkan tapi faktanya bisa menimbulkan bencana, saya lebih memilih menangani (mencegah) bencana. Kita harus berpihak pada keselamatan warga," katanya.
Acuan tunggal dan penertiban sempadan dalam sinkronisasi yang didukung penuh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ini, kabupaten dan kota diminta patuh pada garis kebijakan provinsi tanpa kompromi, terutama pada sektor hijau dan pangan.
"Kabupaten dan kota tinggal mengikuti tata ruang induk provinsi, dan orientasi tata ruang kita itu adalah melindungi kawasan hutan, melindungi area persawahan," kata KDM.
