Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2025 tumbuh melambat, yakni 6,8 persen year on year (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2025 sebesar 8,2 persen (yoy).
“Posisi ULN Indonesia pada Mei 2025 tercatat sebesar 435,6 miliar dolar AS, atau secara tahunan tumbuh 6,8 persen (yoy),” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya, di Jakarta, Senin.
Ramdan menjelaskan bahwa perkembangan tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN di sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN swasta.
ULN pemerintah tercatat tumbuh lebih rendah. Posisi ULN pemerintah pada Mei 2025 sebesar 209,6 miliar dolar AS. Posisi ULN pemerintah ini tumbuh sebesar 9,8 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,4 persen (yoy) pada April 2025.
Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh pembayaran jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) internasional, di tengah aliran masuk modal asing pada SBN domestik, seiring tetap terjaganya kepercayaan investor global terhadap prospek perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN terus diarahkan pada program prioritas dalam mendukung stabilitas dan momentum pertumbuhan ekonomi, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan ULN.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (22,3 persen dari total ULN pemerintah); administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (18,7 persen); jasa pendidikan (16,5 persen); konstruksi (12,0 persen); serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).
Posisi ULN pemerintah tersebut tetap terjaga, karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
Sementara itu, ULN swasta melanjutkan kontraksi pertumbuhan. Pada Mei 2025, posisi ULN swasta tercatat sebesar 196,4 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy), lebih besar dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar 0,4 persen (yoy).
