Bandung (ANTARA) - Bank Indonesia Perwakilan Jawa Barat mengakui ekspor Jabar menghadapi tantangan berat seiring terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS, yang memunculkan kembali kebijakan tarif resiprokal, utamanya sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, hingga elektronik.
Seperti diketahui, Indonesia termasuk dalam negara yang terdampak dari kebijakan tersebut di mana ada Indonesia akan diberlakukan tarif 32 persen (tengah dalam penundaan 90 hari), sementara tarif 10 persen untuk sekitar 75 negara.
"Kami mencatat, TPT terkena dampak 5 persen, elektronik 3 persen, dan alas kaki juga 3 persen," kata Deputi Kepala Perwakilan BI Jabar Muslimin Anwar dalam acara Kick Off West Java Economic Society (WJES) 2025 di Bandung, Rabu.
Menurut Muslimin, kebijakan tersebut memiliki sisi positif dan negatif. Dalam hal ini Indonesia bisa mencari peluang relokasi ekspor dari AS ke negara yang terkena tarif lebih tinggi dari Indonesia.
"Tapi minusnya, yang juga merupakan tantangan, negara-negara terdampak lainnya juga akan memikirkan hal yang sama. Sehingga diperlukan dalam hal ini ide-ide atau kebijakan-kebijakan inovatif dan kreatif agar domestik kita terlindungi khususnya untuk Jawa Barat yang terkena dampak itu industri TPT, alas kaki, karet dan elektronik," ujarnya.
Guna memperkuat ekspor itu, BI Jabar mengatakan akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi, Pemda kota dan kabupaten, serta kantor pusat Bank Indonesia untuk mencari strategi agar tetap memperkuat ekspor Jabar.
"Baik melakukan peningkatan jumlah negara-negara diversifikasi tadi maupun inovasi-inovasi dari barang yang akan diekspor kemudian juga kemungkinan apabila menjadi tempat relokasi dari barang-barang yang akan diekspor untuk diberikan dukungan semisal ke Eropa, dan juga negara-negara ASEAN yang juga tinggi potensinya. Dan kita juga mendorong apa kebutuhan pada saat ini yang dibutuhkan oleh negara-negara tujuan ekspor kita," ucapnya.
Selain itu, kata Muslimin, pasar domestik juga perlu diperhatikan dan diperkuat sebagai salah satu solusi atas menurunnya kekuatan ekspor Jabar dampak dari kondisi global.
"Nah oleh karena itu kita perlu meningkatkan di domestiknya, yakni demand terhadap produk-produk tersebut (produk ekspor)," tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat (Jabar) mengungkapkan kinerja ekspor Jabar mengalami penurunan, utamanya di sembilan negara tujuan termasuk Amerika Serikat (AS).
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Provinsi Jabar Darwis Sitorus, di Bandung, Jumat (2/5), menjelaskan nilai ekspor Jabar secara total (migas dan nonmigas) pada Maret 2025 tercatat 3,09 miliar dolar AS yang turun 3,51 persen dibanding Februari 2025. Jika dibandingkan Maret 2024, turun 3,29 persen.
Ekspor yang mengalami penurunan di negara tujuan, lanjut Darwis, adalah pada ekspor nonmigas yang merupakan 99,25 persen dari kinerja ekspor Jabar. Di mana ekspor jenis ini tercatat sebesar 3,06 miliar dolar AS atau turun sebesar 3,95 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Nilai tersebut didapatkan dari volume ekspor sejumlah 667,52 ribu ton pada Maret 2025, yang turun 4,36 persen dari volume ekspor Februari 2025 sebesar 697,93 ribu ton.
Tiga dari sembilan negara tujuan ekspor yang tercatat mengalami nilai penurunan tertinggi adalah Thailand sebesar 147,50 juta dolar AS (turun 49,51 persen), disusul AS sebesar 23,89 juta dolar AS (turun 4,74 persen), dan Filipina sebesar 15,54 juta dolar AS (turun 5,31 persen).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BI: Ekspor Jabar hadapi tantangan atas kebijakan AS utamanya tekstil