Jakarta (ANTARA) - Tanah Belanda, tempat lahirnya filosofi total football di panggung sepak bola, telah mengubah perspektif memainkan si kulit bundar.
Melalui total football, sepak bola tak melulu mengenai upaya mencetak gol, tapi menjadi sebuah seni yang menjunjung tinggi permainan indah yang dibangun lewat kombinasi antar lini.
Total football yang menekankan sepak bola menyerang seakan menjadi pandangan baru bahwa sepak bola begitu "indah" untuk dilihat dengan gaya permainan yang menekan lawan selama 90 menit jalannya pertandingan.
Pandangan ini kerap dibuat keliru akhir-akhir ini, ketika para suporter menuntut untuk setiap tim menerapkan gaya permainan "indah" ala filosofi yang dicetuskan pelatih sepak bola Belanda, Rinus Michels, yang kemudian dipopulerkan oleh legenda Ajax Amsterdam dan Barcelona, Johan Cruyff tersebut.
Kehadiran total football membuat gaya catenaccio, strategi yang memperkuat lini belakang semaksimal mungkin dan mengandalkan serangan balik, menjadi antagonis dan dinilai usang atau ketinggalan jaman di era sepak bola modern.
Terlepas dari gaya permainan, justru terdapat kubu suporter kini mendegradasikan hal yang terpenting dalam siklus sepak bola yakni persoalan menang dan kalah.
Sebagai sebuah permainan tentu yang tercatat dalam sejarah adalah mengenai siapa yang menang dan siapa yang menjadi juara. Bukan mengenai gaya permainan "indah" sepanjang laga.
Syahdan, kondisi ini juga terjadi di timnas Indonesia. Ada kubu yang menuntut untuk menerapkan gaya permainan "indah" lalu juga ada pula kubu yang menuntut secara pragmatis mengenai hasil akhir.
Semua tuntutan tersebut tentu saja sah. Namun kondisi timnas Indonesia sekarang seperti tengah mencari jati diri, entah harus bermain "indah" ala total football atau bermain pragmatis dengan mengorientasikan hasil yakni kemenangan.