Jakarta (ANTARA) - Setelah menundukkan skuad tangguh Arab Saudi 2-0 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, banyak yang terkejut tim nasional Indonesia dikalahkan Australia 1-5 di Sydney dalam laga Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Kamis (20/3).
Ketangguhan Jay Idzes dan kawan-kawan ketika bersua Arab Saudi seperti menguap kala bertemu dengan tim dari Negeri Kanguru. Tidak berdaya dari lawan nyaris di semua lini, Indonesia pun harus rela melihat peluang ke Piala Dunia 2026 terkikis.
Hasil itu membuat kekecewaan masyarakat deras mengalir di media sosial. Di Stadion Sepak Bola Sydney, arena pertandingan, suporter Indonesia bahkan sempat meneriakkan nama eks pelatih timnas Indonesia Shin Tae-yong sebagai bentuk protes.
Juru taktik anyar timnas Indonesia, Patrick Kluivert, dianggap belum dapat melampaui atau bahkan menyamai standar kualitas skuad "Garuda" pada era Shin Tae-yong.
PSSI pun menjadi sorotan. Ada yang menilai keputusan untuk mengganti Shin dengan Kluivert pada masa krusial kualifikasi Piala Dunia 2026 keliru lantaran mengganggu keharmonisan, kepaduan dan ikatan batin (chemistry) antarpemain.
Di dalam lingkup demokrasi, apa yang meletup dari masyarakat dan pencinta sepak bola nasional tentu saja tidak salah. Sebagai organisasi yang sudah berdiri sejak tahun 1938, PSSI seharusnya mampu mengolah semua masukan dan pendapat, lalu fokus mempersiapkan tim untuk bangkit pada laga berikutnya.
Untuk itu, PSSI boleh belajar dari Sydney. Kota yang versi modernnya berdiri pada tahun 1788 itu memiliki beberapa jejak sejarah yang cocok untuk timnas Indonesia atau, umumnya, sepak bola nasional. Salah satunya adalah "Granny Smith".
"Granny Smith" merupakan satu varietas apel hijau yang berasal dari pinggiran Sydney. Lantas, apa nilai yang dapat dipetik dari apel ini untuk sepak bola Indonesia?
Bibit
Varietas "Granny Smith" awalnya dikembangkan dengan telaten oleh seorang ibu bernama Maria Ann Smith, yang dipanggil "granny" atau nenek oleh cucu dan masyarakat sekitar. Dia tinggal di Sydney bersama suaminya Thomas Smith mulai tahun 1839.
Dikutip dari tulisan peneliti buah Amerika Serikat (AS) R Paul Larsen berjudul Mrs. Smith Goes to Washington (1982), Smith tidak sengaja membuang buah apel kepiting Tasmania, yang berasal dari genus Malus, yang busuk ke kebunnya.
Ternyata, dari sana, tumbuh pohon apel yang menarik perhatian Maria Smith. Dengan pengetahuannya di dunia perkebunan, dia mulai mengembangkan tanaman tersebut secara terbatas di kebunnya dan menyaksikan tumbuhan itu menghasilkan buah apel berwarna hijau cerah. Warna hijau itu akan berubah menjadi kekuningan ketika buahnya menua.
"Granny Smith" memiliki bentuk bulat dengan daging berwarna putih, renyah, berair dan berasa agak asam.
Pada tahun 1868, buah tersebut dikenal oleh warga sekitar lantaran nikmat ketika diolah menjadi beragam makanan berbahan dasar apel termasuk pai.
Kegigihan Maria Smith menyuburkan apel temuannya mendapatkan perhatian dari pemerintah New South Wales yang melakukan penanaman resmi pada tahun 1895. Apel "Granny Smith" kemudian dipasarkan secara lokal tahun 1900 dan mendunia sejak tahun 1950.
Buah apel hijau "Granny Smith" sangat populer di dunia karena mampu bertahan lama dalam penyimpanan.
Media The Sydney Morning Herald melaporkan bahwa apel "Granny Smith" menjadi salah satu varietas apel yang paling banyak ditanam di dunia. Pada tahun 2017, dari sekitar 7.500 varietas apel yang eksis di bumi, "Granny Smith" menguasai 11,1 persen produksi dunia.
Dari kisah tersebut, benang merah antara "Granny Smith" dan sepak bola Indonesia terdapat pada satu hal yaitu bibit.
Andai Maria Smith tidak serius dalam mengembangkan bibit apel Malus jenis baru di kebunnya, maka tidak ada apel hijau "Granny Smith" yang dikenal sangat luas.
Situasi itu mirip dengan sepak bola. Cuma dengan ketekunan, keuletan dan keseriusan dalam menghasilkan, mencari dan membina "bibit" pesepak bola andallah kualitas tim nasional kita, timnas Indonesia, dapat diakui dunia.
Bertahap
Di dalam sejarah sepak bola masa kini, hampir tidak ada tim nasional yang mampu bersaing dan berbicara banyak di level internasional dengan cara instan.
Di tim-tim sepak bola tangguh seperti Brasil, Jepang, bahkan Australia, para pemain dihasilkan dari ketatnya kompetisi, pembinaan yang terukur, dan kedisiplinan penerapan regulasi.
Kemudian, ada pula pengembangan kualitas tenaga pendukung seperti wasit, asisten wasit sampai tenaga kesehatan.
Terkait hal tersebut, Johan Cruyff, eks pelatih Barcelona yang juga praktisi "total football" paling populer, pernah menyebut bahwa dalam sepak bola sejatinya yang harus belajar adalah individu bukan tim.
"Tim itu tidak belajar. Individu di dalam tim itulah yang belajar. Yang disebut perkembangan itu merujuk pada proses pribadi yang dilakukan dalam tim," ujar Cruyff.
PSSI idealnya mengambil jalan yang sama untuk mengembangkan sepak bola. Demi melaju ke Piala Dunia, seperti yang dinanti-nantikan saat ini, baiknya melalui jalan "berpeluh" yakni pembinaan "bibit" pesepak bola belia.
Maria Smith merawat bibit "Granny Smith"-nya dengan baik sehingga menghasilkan buah yang berkualitas tinggi. Dengan kesabaran dan keuletan, apel yang awalnya hanya dikonsumsi oleh keluarga Maria sendiri, kemudian ke warga sekitar dan kini dapat dinikmati oleh seluruh penduduk dunia, meski untuk itu membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
Salah satu pendiri Amerika Serikat, Benjamin Franklin, menyebut seperti ini, "Tanpa pertumbuhan dan progres berkelanjutan, kata-kata seperti peningkatan, pencapaian dan sukses tidak berarti,"
Naturalisasi pemain secara masif, mendatangkan pelatih dengan nama besar demi meraih hasil cepat sebenarnya sah-sah saja. Akan tetapi, jangan terlalu berharap hal itu dapat lekas-lekas mewujudkan mimpi Piala Dunia.
Perhatian penuh seharusnya diarahkan bagaimana memunculkan pemain-pemain berbakat dari akar rumput. Prestasi memang menjadi tujuan, tetapi pembinaan harus menjadi "kendaraan" untuk berlabuh di sana.
Dengan menumbuhkan, mengembangkan dan mengasah bibit-bibit pemain, sepak bola Indonesia memiliki "mesin" mumpuni untuk bergerak maju, menuju trofi dan masa depan gemilang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pelajaran dari "Granny Smith" Sydney untuk sepak bola Indonesia