Jakarta (ANTARA) - Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI meminta kepada para pelaku usaha yang hendak menyertifikasi halal produknya menggunakan pihak ketiga untuk berhati-hati terhadap calo berkedok konsultan.
"Pelaku usaha perlu cermat memperhatikan rincian biaya apabila menggunakan jasa konsultan. Waspada terhadap calo berkedok konsultan yang hanya mengambil untung," ujar Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati di Jakarta, Kamis.
Dalam beberapa waktu terakhir, sertifikasi halal menjadi topik yang banyak diperbincangkan oleh pelaku usaha. Isu utama yang kerap muncul adalah biaya sertifikasi yang dianggap mahal dan proses pemeriksaan yang dinilai memakan waktu lama.
Ditengarai, ada keterlibatan calo berkedok konsultan yang membuat proses sertifikasi halal menjadi lebih mahal dan rumit.
Muti mengatakan secara regulasi tarif dan waktu pemeriksaan halal telah diatur dengan standar tertentu agar tetap transparan dan efisien.
Dalam skema reguler, proses sertifikasi halal dimulai dari pendaftaran di Sistem Informasi Halal (SiHALAL) BPJPH yang memakan waktu maksimal 2 hari. Setelah itu, BPJPH akan melakukan verifikasi dokumen dalam 1 hari sebelum meneruskan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Di LPH, pelaku usaha akan menerima informasi mengenai biaya dalam waktu 2 hari, dan pembayaran serta penerbitan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) oleh BPJPH dilakukan dalam 5 hari kerja.
Proses pemeriksaan oleh LPH, yang mencakup verifikasi dokumen, audit lapangan, serta uji laboratorium (jika diperlukan), berlangsung maksimal 10 hari untuk usaha dalam negeri dan 15 hari untuk usaha luar negeri, yang dapat diperpanjang maksimal 10 hari kerja.
Setelah itu, laporan hasil audit akan diajukan ke Komisi Fatwa MUI yang memiliki waktu maksimal 3 hari untuk menetapkan kehalalan suatu produk.
Muti menjelaskan bahwa dalam kondisi ideal, keseluruhan proses ini bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari satu bulan. Namun, dalam praktiknya, keterlambatan sering terjadi karena kurang siapnya perusahaan dalam menyiapkan dokumen dan implementasi SJPH.
Ia menjelaskan yang membuat lama proses sertifikasi halal adalah banyaknya hal-hal yang belum memenuhi kriteria. Kriteria itu seperti, belum adanya penggunaan bahan baku yang tidak halal.
Kemudian, dokumen halal bahan baku yang tidak memadai, serta masih ditemukannya penggunaan fasilitas bersama dengan produk-produk yang masih bersinggungan dengan bahan haram dan najis," kata dia.
Sementara untuk biaya, Menurut Muti, implementasi tarif di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Sebagian pelaku usaha merasa biaya yang harus dikeluarkan cukup besar, terutama bagi usaha mikro dan kecil.
Namun, ia menegaskan bahwa tarif yang ditetapkan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
"Sebagian besar biaya dari tarif pemeriksaan halal dialokasikan untuk operasional lembaga, edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha, serta program Corporate Social Responsibility (CSR)," katanya.
Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) Elvina A. Rahayu menjelaskan bahwa biaya sertifikasi halal dipengaruhi oleh skala usaha, jenis produk, serta jumlah fasilitas (pabrik / outlet) atau cabang yang dimiliki oleh pelaku usaha.
Tarif ini telah diatur secara resmi oleh BPJPH melalui beberapa regulasi, yaitu Keputusan Kepala BPJPH 141 Tahun 2021, yang kemudian direvisi menjadi Keputusan Kepala BPJPH 83 Tahun 2022, dan yang terbaru adalah Keputusan Kepala BPJPH Nomor 22 Tahun 2024.
Oleh karena itu, besaran biaya yang dikenakan oleh LPH dalam proses pemeriksaan halal telah memiliki dasar aturan yang jelas dan bukan merupakan angka yang ditentukan secara sembarangan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: LPPOM minta pelaku usaha hati-hati terhadap calo berkedok konsultan