Bandung (ANTARA) - Associate Professor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayah Khisbiyah, mengungkapkan guru merupakan salah satu kunci dalam menumbuhkan semangat keberagaman dan mengikis intoleransi di dunia pendidikan.
"Guru adalah salah satu agen perubahan penting untuk mengikis intoleransi yang masih muncul di tengah masyarakat. Karena, toleransi tidak bisa hanya diajarkan, melainkan harus dialami secara langsung melalui perjumpaan dengan orang yang berbeda agama," kata Yayah dalam keterangan di Bandung, Sabtu.
Peran guru menjadi penting dalam hal ini, karena berdasarkan survei tahun 2018 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarkat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ditemukan sebanyak 57 persen guru di Indonesia intoleran terhadap agama lain.
"Survei senada tahun 2023 yang dilaksanakan oleh Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID), juga mencatat 83 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti," ujarnya.
Karena itu, Yayah menilai workshop hybrid yang bertema "Penguatan Kompetensi Guru Pendidikan Dasar dan Menengah untuk Implementasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam Pembelajaran Kurikulum Merdeka" di Bandung 21-23 Februari 2025 yang digagas Institut Leimena sangat positif.
Sebanyak 25 guru madrasah dan sekolah di Jawa Barat dan Jakarta yang ikut serta dalam kegiatan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dibekali kompetensi untuk meningkatkan skill mereka dalam membangun toleransi di dunia pendidikan.
"Intoleransi menjadi masalah laten dalam bangsa. Itu sebabnya program LKLB ini penting agar kita tidak menjadi bangsa yang terdisintegrasi, mudah dipecah belah, sebaliknya bisa saling berkolaborasi. Program LKLB memiliki kebaruan karena sangat detil dalam penyusunan tahapan dan proses yang membekali guru seperangkat kompetensi untuk mengimplementasikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan mendorong kerja sama," ujar Yayah.
Cara pandang terhadap guru, kata Direktur Program Institut Leimena, Daniel Adipranata, menjadi landasan berpikir dari lembaga nirlaba yang berfokus untuk membangun peradaban tersebut.
Sehingga, lanjut dia, dalam LKLB diajarkan tiga kompetensi utama untuk hidup dalam masyarakat majemuk. Pertama, kompetensi pribadi, yaitu bagaimana seseorang mengenal agamanya dalam memandang relasi dengan sesama manusia termasuk mereka yang berbeda agama.
Kedua, kompetensi komparatif, yaitu mengenal agama lain dari sudut pandang pemeluk agama itu sendiri. Ketiga, kompetensi kolaboratif, yaitu mendorong kerja sama satu sama lain tanpa sekat agama atau saling curiga untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang menjadi tantangan bersama.
Daniel menjelaskan workshop LKLB diikuti oleh guru-guru yang sudah lulus dari program pengenalan LKLB yang diadakan secara online selama satu minggu, di mana mereka diajarkan menginsersikan nilai-nilai LKLB ke dalam modul pembelajaran kemudian menerapkannya di ruang kelas.
"Program LKLB yang dimulai sejak 2021 sudah diikuti oleh 9.258 guru dari berbagai sekolah dan mata pelajaran dari 37 provinsi di Indonesia. Inisiatif program ini dimulai dari tokoh-tokoh agama terpandang seperti Buya Syafi’i Maarif, Prof. Amin Abdullah, dan mantan menteri luar negeri RI, Alwi Shihab," kata Daniel.
Senada dengan itu, Penasihat Program Institut Leimena, Budi Setiamarga, mengatakan LKLB mendorong seseorang untuk beragama lebih dewasa.
Pasalnya, toleransi sering kali hanya dimaknai secara pasif tanpa mengganggu keyakinan satu sama lain, sebaliknya dalam LKLB, setiap pemeluk agama didorong untuk terlibat satu sama lain, memiliki keterbukaan, dan mau bekerja sama untuk kebaikan.
"LKLB mendorong keimanan kita menjadi kokoh sekaligus mampu memahami orang lain sebagaimana mereka memahami dirinya. Dengan pemahaman itulah, kita mencari titik temu untuk berkolaborasi," kata Budi.
Sementara pegiat dan pemerhati pendidikan di Perkumpulan Pengembang Pendidik Interreligius (PaPPIRus), Listia Suprobo, menambahkan insersi nilai-nilai LKLB akan menjadi modal sosial untuk bangsa Indonesia karena menghasilkan generasi penerus bangsa yang mengenal dirinya, mengenal orang berbeda, dan siap saling bekerja sama demi bangsa, umat, dan kemanusiaan.