Cirebon (ANTARA) - Hidup sering kali memisahkan harapan dan kenyataan. Bagi Abdul Mujib kecil, hidup tampak seperti layar kaca yang tak bisa disentuh.
Dahulu, ia sering melihat anak-anak sebayanya pulang sekolah dengan tawa ceria, sementara dirinya hanya bisa duduk di pinggir jalan, ditemani tongkat yang setia menopang tubuhnya.
Di usianya yang masih belia, Mujib sudah memahami kalau dirinya berbeda. Perbedaan itu menjadi tembok yang memisahkan dirinya dari dunia luar.
Polio yang menyerang saat usianya dua tahun membuat kaki kanannya kehilangan tenaga, kecil sebelah, tak mampu menopang langkah seperti anak-anak lainnya.
Ketidaksempurnaan itu membuat keluarganya ragu untuk menyekolahkan Mujib, seolah pendidikan adalah kemewahan yang tak layak baginya kala itu.
Namun, tembok itu mulai retak ketika seorang guru sekolah dasar (SD) menghampiri Mujib yang kerap duduk termenung di depan sekolah. Sang guru bertanya, apakah ia ingin bersekolah?
Dalam kondisi yang penuh harap itu, dia membulatkan tekad untuk meraih pendidikan formal pertamanya.
“Akhirnya guru saya berinisiatif mendatangi keluarga saya. Kemudian dijelaskan bahwa saya ingin sekolah. Orang tua saya akhirnya memberikan izin untuk sekolah,” kata Mujib kepada ANTARA.
Dengan bantuan guru tersebut, keluarganya akhirnya mengizinkan Mujib untuk masuk sekolah meski terlambat.
Kendati demikian, rupanya dunia pendidikan tak lantas menyambutnya dengan tangan terbuka.