Bagi warga Cireundeu, hidup berdampingan dengan alam adalah prinsip yang terus dan harus dijaga. Di kampung ini, mereka tidak hanya bertani, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologis yang menjadi bagian dari warisan adat.
Abah Widi, sesepuh adat Cireundeu yang berusia lebih dari 60 tahun, menceritakan kepada ANTARA bahwa sejak kecil, ia tidak pernah merasakan makan nasi atau makanan berbahan beras.
Dirinya menjelaskan dengan filosofi dalam bahasa Sunda yakni teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat. Artinya, tidak memiliki sawah tidak masalah asal memiliki beras, tidak ada beras tidak masalah asal bisa menanak nasi, tidak ada nasi tidak masalah asal bisa makan, tidak makan tidak masalah asal tetap kuat.
Filosofi ini menggambarkan bahwa kenyang tidak harus selalu dengan nasi. Bagi mereka, makan adalah tentang bertahan hidup dan menjaga tubuh tetap sehat, bukan soal memenuhi ekspektasi tentang makanan pokok.
Sejak 2010, Kampung Cireundeu mulai dikenal sebagai desa wisata, berawal dari kedatangan sejumlah mahasiswa yang tertarik mempelajari cara hidup masyarakat setempat.
Desa ini tidak mengandalkan komersialisasi, namun lebih pada keinginan untuk memperkenalkan pola makan dan kehidupan yang berfokus pada kemandirian pangan.
Dengan konsep yang sederhana dan tidak mengutamakan keuntungan ekonomi, masyarakat Cireundeu menjaga keaslian budaya mereka dengan mengajarkan pengunjung tentang ketahanan pangan dan pentingnya diversifikasi makanan.
“Jadi, kami tidak membuat objek wisata yang baru karena ini merupakan warisan budaya dari leluhur kami untuk tetap dijaga oleh penerusnya sampai kapan pun,” kata Abah Widi.
Ketahanan pangan Cireundeu kini mendapat perhatian besar, terutama dalam menghadapi isu ketergantungan pada beras impor. Abah Widi dan warga adat lainnya terus mempromosikan pemikiran bahwa makan tidak hanya harus dengan nasi, dan singkong dapat menjadi alternatif yang juga bergizi.