Kesamaan lain
Ketangguhan mental bukan merupakan satu-satunya kesamaan antara rakyat Gaza dan rakyat Indonesia pada masa perang kemerdekaan. Terdapat pula kondisi lainnya yang memperlihatkan fakta-fakta serupa. Luas Indonesia sempat menyempit setelah perjanjian Linggarjati (Maret 1947) yang hanya menyisakan Sumatera, Jawa, dan Madura. Perjanjian itu pun tidak bertahan lama. Belanda melanggarnya lewat serangan besar-besaran pertama di Jawa dan Sumatera yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda 1 (Juli-Agustus 1947).
Pasca-serangan brutal yang dilakukan secara sepihak itu, Indonesia-Belanda kembali melakukan perundingan, yakni Renville (Desember-Januari 1948). Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa Tengah, dan Jogjakarta sebagai wilayah Indonesia. Pada perjalanannya, posisi Indonesia semakin terdesak serta semakin menyempit dari segi wilayah. Akhirnya, hanya Jogjakarta dan sebagian kecil Jawa Tengah yang saat itu menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Setelah Belanda kembali mengingkari kesepakatan lewat serangkaian operasi militer yang puncaknya dipentaskan lewat Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948.
Jogjakarta yang menjadi wilayah kedaulatan sekaligus benteng terakhir Indonesia tidak ubahnya Rafah yang kini menjadi titik perlindungan terakhir rakyat Palestina di Gaza. Selama berbulan-bulan Rafah difungsikan sebagai area pengungsian bagi warga sipil. Tidak ada lagi tempat untuk berlindung dan bersembunyi. “All Eyes On Rafah” sempat menjadi trending dunia ketika tempat perlindungan terakhir itu ternyata tidak luput dari serangan militer Israel.
Anomali sejarah?
Setelah membahas sekilas persamaan nasib serta penderitaan dan mentalitas antara Gaza dan Indonesia masa lampau, kini tibalah saatnya semua mata mengarahkan perhatian pada aspek terdalam konflik Israel-Palestina sebagai suatu anomali kemanusiaan dan sekaligus noda besar sejarah bagi dunia, yakni bagaimana mungkin Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan lebih dari 8 dekade lamanya tidak berdaya menyelesaikan masalah ini.
Bagaimana mungkin humanisme dunia modern yang kita jalani dewasa ini bertekuk lutut terhadap praktik dehumanisasi terang-terangan yang seharusnya lebih pantas terjadi 2.000 tahun lalu. Hampir 30 persen dari 36.000 lebih jumlah korban adalah anak-anak. Jika dunia penuh dengan kontradiksi, maka saat inilah kontradiksi terbesar sepanjang sejarah sedang dipentaskan.
Tetapi bahkan di tengah kontradiksi sebagai suatu gejala nyata, kita tetap memperoleh sisi paling logis bila merujuk pada realisme politik yang telah dijelaskan sejak 2.400 tahun lalu oleh sejarawan masa lampau Thucydides. Ia menilai relasi antarbangsa dalam praktik tidak akan pernah berubah dari tabiatnya. Hubungan antarbangsa dan negara di dunia tidak berlandaskan pada kebenaran serta kemanusiaan, namun pada kekuatan.
Dengan kekuatan, entitas manapun akan mampu menguasai dunia dan bila perlu membengkokkan arah sejarah. Sesuatu yang tampak sebagai anomali, akan berubah dan diakui sebagai realitas begitu saja. Itu hukum realisme. Berlarutnya permasalahan antara Israel-Palestina tentu saja lebih dari sekadar diskursus antarkekuatan. Ada juga permasalahan ekonomi, permasalahan sejarah, dan kecenderungan kepentingan politik melanggengkan kekuasaan di internal Isarel, tidak terkecuali di pihak Palestina.